PENATALAKSANAAN
ANESTESI PADA HERNIA
INGUINAL LATERALIS INKARSERATA
KARYA TULIS ILMIAH
Di Ajukan untuk
memenuhi Salah Satu Tugas Akhir dalam Menyelesaikan Program
Diploma III
Keperawatan Konsentrasi Anestesi dan Gawat Darurat
STIKes Bhakti Kencana Bandung
Oleh :
NATALIA
NIM :
AKX.08.031
PROGRAM STUDI
DIPLOMA III KEPERAWATAN
KONSENTRASI
ANESTESI DAN GAWAT DARURAT
STIKES BHAKTI
KENCANA
BANDUNG
2011
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucap puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah,
rahmat dan karuniaNya lah, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan penyusunan
karya tulis yang berjudul “Penatalaksanaan Anestesi Pada Hernia Inguinal
Lateralis Inkarserata”.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi akhir
pada Program Studi Diploma III Keperawatan Konsentrasi Anestesi dan Gawat
Darurat STIKes Bhakti Kencana Bandung.
Dalam
penyusunan karya tulis ini, tak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan yang
penyusun temui, baik yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, maupun
pengalaman dalam penyusunan, pengumpulan data dan sumber pustaka yang menjadi
objek penyusunan makalah ini, namun berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak akhirnya karya tulis ini dapat tersusun dengan pembahasan yang
sederhana.
Karenanya
dalam kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penyusun
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1.
H. Mulyana, SH. M,Pd, selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana
Bandung yang memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat menempuh pendidikan
Keperawatan Anestesi di Stikes Bhakti Kencana Bandung.
2.
Agus Mi’raj D., S.Pd., S.Kep., Ners, M.Kes., selaku Ketua STIKes
Bhakti Kencana Bandung.
3.
Asep Aep Indra, S.Pd, S.Kep.
selaku Ketua Program Studi D III Keperawatan STIKes Bhakti Kencana Bandung
4.
Dr. H. Errasmus Soerasdi, SpAn. KIC. KPM, selaku Ketua Jurusan
Program Studi D-III Keperawatan Konsentrasi Anestesi dan Gawat Darurat STIKes
Bhakti Kencana Bandung.
5.
Dr. H. Jajang Sujana Mail, SpAn., selaku Wakil Ketua Jurusan
Pelaksana Harian Program Studi D-III Keperawatan Konsentrasi Anestesi dan Gawat
Darurat STIKes Bhakti Kencana Bandung sekaligus sebagai pembimbing utama dalam
pembuatan karya tulis ini.
6.
Drs. H. Rachman H., BscAn, H. Wahidin, SH, Bsc An, Hj. Sri Sulami,
AmkAn, Yuyu Sutisna, Amd, Reny Q, SH, Alce Novi L. Yudi Suprianto, serta
civitas akademika lainnya yang telah memberikan dukungan, serta bantuan secara
langsung maupun tidak langsung selama penyusun mengikuti pendidikan dan
penyusunan karya tulis ini.
7.
Klinikal Instruktur dan semua pembimbing praktek lapangan di RSUD
Sumedang, RSUD dr. Selamet Garut, RSUD Kota Bandung, RS Al Islam Bandung, RS
TNI AU Dr.Salamun Bandung, RSUD Banjar, yang selama ini tak pernah lelah untuk
memnberikan bimbingan pengetahuan dan keterampilan yang sangat berharga bagi
penyusun dalam menjalankan kewajiban praktek lapangan selama pendidikan.
8.
Bupati kabupaten Merauke di Merauke yang membantu administrasi
dalam bentuk beasiswa tugas belajar kepada penyusun.
9.
Kepala Badan Kepegawaian kabupaten Merauke di Merauke
10.
Dr.Petrus Djia, selaku Direktur RSUD Kabupaten Merauke yang telah
mengizinkan penyusun untuk melanjutkan pendidikan ini.
11.
Kedua orang tuaku (Alm) tercinta, Kakak dan adik-adikku tersayang
beserta keluarga yang ada di Bandung dan di Merauke, juga kekasih hatiku yang
tanpa lelah selalu memberikan do’a dan motivasi yang tiada henti.
12.
Teman-teman seperjuangan kelas khusus anestesi angkatan IV tahun
2008.
13.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ini
yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu.
Akhirnya
penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan
bantuan dan kerja samanya selama menjalani pendidikan dan penyelesaian karya
tulis ini, dan Semog Allah Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan dan membalas
seluruh jasa baik, cinta kasih dan ketulusan yang telah Bapak/Ibu/Saudara
berikan kepada penyusun selama ini.
Bandung,
31 Mei 2011
Penyusun
Natalia
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................. ii
KATA PENGANTAR......................................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................... 3
1.3 Tujuan Penyusunan....................................................... 3
1.4 Manfaat Penyusunan..................................................... 4
1.5 Sistematika Penyusunan................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................... 6
2.1 Tinjauan Umum Hernia................................................. 6
2.2 Tinjauan Umum Pembedahan....................................... 15
2.3 Tinjauan Umum Anestesi.............................................. 16
BAB 3 PEMBAHASAN..................................................................... 18
3.1 Penatalaksanaan Perioperatif......................................... 18
3.1.1 Manajemen Preoperatif................................................. 18
3.1.2 Pemilihan Tehnik Anestesi............................................ 22
3.1.3 Persiapan Alat Dan Obat Anestesi................................ 23
3.1.4 Persiapan Pasien Sebelum Hari Operasi........................ 36
3.1.5 Penatalaksanaan Tindakan Anestesi Terhadap
Pasien
yang Menjalani Operasi Hernioraphy
pada
HIL Inkarserata.................................................... 37
3.1.6 Monitoring Intraoperatif............................................... 39
3.1.7 Ekstubasi....................................................................... 39
3.1.8 Penatalaksanaan Pascaanestasi di Recovery
Room....... 40
BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN................................................... 42
4.1 Simpulan........................................................................ 42
4.2 Saran.............................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penyakit
hernia atau yang lebih dikenal dengan turun berok adalah penyakit akibat turunnya
buah zakar seiring melemahnya lapisan otot, sehingga penderita hernia
kebanyakan laki-laki, terutama anak-anak.1
Hernia
berasal dari bahasa Latin herniae yaitu menonjolnya isi suatu rongga melalui
jaringan ikat tipis yang lemah pada diding rongga bersangkutan. Gangguan ini
sering terjadi di daerah perut yang berisi alat visera dari ronngga perut
(abdomen), misalnya usus, dan lain-lain.1
Hernia
yang terjadi pada anak-anak lebih disebabkan karena kurang sempurnanya procesus
vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis atau buah zakar.2
Bila pada orang dewasa disebabkan karena adanya tekanan yang tinggi dalam
rongga perut (tekanan intraabdomen) dan karena faktor usia yang menyebabkan
melemahnya otot dinding perut.1 Hernia diderita oleh orang yang
banyak kesibukan dan aktivitas yang membutuhkan stamina dan energi yang banyak,
sehingga bila stamina tubuhnya kurang bagus dan tetap dipaksakan untuk bekerja
maka akan timbul penyakit hernia. Bila hernia yang didapat bersifat inkarserata
maka tindakan pembedahan harus cepat ditangani untuk menghindari terjadinya
stangulata.1
Hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyedia pelayanan anestesi, baik dokter
spesialis anestesi maupun perawat anestesi. Kemajuan dalam ilmu kedokteran
khususnya pembedahan, tidak terlepas dari peran dan dukungan kemajuan di bidang
anestesiologi. Anestesiologi sebagai cabang ilmu kedokteran, merupakan ilmu
yang mendasari usaha dalam hal pemberian anestesi dan analgesi serta menjaga
keselamatan penderitan yang mengalami pembedahan atau tindakan-tindakan lainnya
termasuk bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.3
Kemajuan
anestesi pada saat ini menyebabkan lebih aman dan menyenangkan bagi pasien.
Faktor yang mempengaruhi kemajuan tersebut adalah sudah adanya pemahaman
tentang fisiologi dan farmakologi tentang obat, sehingga pelaksanaan anestesi
yang dimulai dari persiapan pasien hingga pengawasan perioperatif dapat di
laksanakan dengan baik, apalagi dengan tersedianya tehnik anestesi yang baru seperti
pemakaian obat pelumpuh otot, intubasi endotrakeal, dan penggunaan obat-obatan
yang mudah menguap. Penggunaan anestesi ini sangat membantu ahli bedah dalam
menangani operasi yang sulit, salah satunya yaitu operasi herniorafi pada
hernia inkarserata.3 Dua pelopor bedah hernia adalah Bassini dan
Halsted, tindakan serta prinsip operasinya masih dipraktekkan/digunakan sampai
pada hari ini.4
Di
dalam Penyusunan ini, penyusun mencoba menguraikan mengenai gambaran umum
hernia, dan penatalaksaan anestesi terhadap pasien yang menjalani operasi
herniorafi yang diharapkan dapat menambah pengetahuan penyusunan khususnya dan
menjadi referensi pembaca di kemudian hari.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, secara singkat dapat dirumuskan berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan operasi pada hernia inguinal, diantaranya adalah
bagaimana penatalaksanaan anestesi terhadap penderita yang menjalani operasi
herniorafi pada hernia inguinal lateralis inkarserata, serta hal-hal apa saja
yang menjadi perhatian khusus dalam penatalaksanaan anestesinya.
1.3
Tujuan Penyusunan
1.3.1
Tujuan secara umum
Secara
umum tujuan Penyusunan ini, untuk mengetahui gambaran umum mengenai konsep
dasar penyakit hernia dan penatalaksanaan anestesi terhadap penderita yang
menjalani operasi herniorafi pada hernia inkarserata.
1.3.2
Tujuan secara khusus
Setelah
Penyusunan ini, penyusun dapat :
a.
Mengetahui definisi, anatomi, klasifikasi, patogenesis dan gambaran
klinis mengenai hernia.
b.
Mengetahui prosedur anestesi pada penderita dengan hernia inguinal
lateralis inkarserata serta mampu melaksanakan pemberian tindakan anestesi dan
mengidentifikasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul sebagai interaksi
antara penyakit dengan prosedur anestesi dan pembedahan.
1.4
Manfaat Penyusunan
1.4.1
Bagi penyusun
Penyusunan
ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan secara khusus mengenai
hernia inguinal inkarserata lateralis dalam kaitannya dengan penatalaksanaan
anestesi.
1.4.2
Bagi Pendidikan
Penyusunan
ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan dan referensi mahasiswa
dalam menmabah pengetahuan tentang hernia inguinal lateralis inkarserata dalam
kaitannya dengan prosedur penatalaksanaan anestesi.
1.4.3
Bagi Umum
Penyusunan
ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang hernia inguinal
lateralis inkarserata dalam kaitannya dengan prosedur penatalaksanaan
anestesinya.
1.5
Sistematika Penyusunan
Adapun
sistematika penyusunan dalam karya tulis ini adalah :
Bab
I : Pendahuluan yang terdiri dari
latar belang, tujuan penyusunan, dan sistematika penyusunan.
Bab
II : Tinjauan Pustaka yang memuat
tinjauan umum hernia dan tinjauan umum anestesi.
Bab
III : Pembahasan yang memuat tentang
prosedur penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari manajemen preoperatif,
intraoperatif dan postoperatif.
Bab
IV : Penutup yang terdiri dari simpulan
dan saran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Hernia
2.1.1 Definisi Hernia
Hernia
merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol
melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut.2
Meburut
Made Kusala Girl dan Farid Nur Mantu, hernia adalah penonjolan peritonium yang
berisi alat visera dari rongga abdomen melalui suatu lotus baik bawaan maupun
didapat.
Dari
kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah penonjolan isi
suatu rongga karena adanya kelemahan pada dinding organ yang dapat terjadi
karena faktor bawaan maupun didapat.5
2.1.2 Anatomi Hernia
Bagian
hernia terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia itu sendiri. Isi hernia
dapat berupa lambung, usus, ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum).
Bila ada lapisan yang lemah dari lapisan otot diding perut, maka usus dapat
keluar ke tempat yang tidak seharusnya yakni bisa ke diafragma, lipatan paha
atau ke pusat.4 Berikut ini dapat dilihat gambar anatomi letak
hernia.
Gambar
2.1 Letak hernia
Ket.gambar 2.1
1.
Ventral. 7.
A.V. Fermoralis. 13.
M. Periformis.
2.
Epigastrik. 8.
Femoral. 14.
A.V. Iliaka komunis kiri.
3.
Umbilikal. 9.
Obturatoria. 15.
Lumbal.
4.
Inguinal indirek / lateral 10.
Rektum. 16.
Aorta.
5.
A.V. Epigastrika inferior. 11.
Perineal. 17.
Hiatus difragma.
6.
Inguinal direk / medial. 12.
Iskiadika. 18.
V. Kava inferior
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan
penyebab terjadinya hernia dapat dibedakan menjadi hernia bawaan (congenital)
dan hernia didapat. Sedangkan menurut letaknya, hernia dibedakan menjadi hernia
diafragma, umbilikalis, femoralis, inguinalis,
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hernia
diafragma adalah adanya visera yang masuk kedalam toraks seperti lambung, usus,
omentum, yang dapat menimbulkan gejala atau tanda obstruksi atau pendarahan.2
Sedangkan hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang
hanya tertutup peritoneum dan kulit. Hernia umbilikalis adalah penonjolan yang
mengandung isi rongga perut yang masuk melalui cincin umbilikus akibat
peninggian tekanan intraabdomen, biasanya diketahui ketika bayi menangis.
Hernia ini umumnya tidak menimbulkan nyeri dan sangat jarang terjadi
inkarserata.2
Hernia
femoralis adalah penonjolan jaringan
preperitoneal ke dalam rongga kanalis femoralis. Hernia femoralis umumnya
terjadi pada orang yang sudah tua, penyebab lainnya adalah kehamilan multipara,
obesitas dan degenerasi jaringan ikat karena usia lanjut.2
Hernia
inguinalis dapat terjadi karena anomali
kongenital atau karena sebab yang
didapat. Hernia inguinalis ada yang medialis dan lateralis. Hernia inguinalis
lateralis yang mencapai scrotum disebut hernia scoratis. Hernia inguinalis
medialis disebut juga direk karena hernia yang menonjol langsung melalui
segitiga Hesselbach, sedangkan hernia inguinalis lateralis, penonjolan dari
perut dilateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut indirek karena keluar
melalui dua pintu dan saluran. Pada pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak
penonjolan berbentuk lonjong sedangkan hernia medialis, berbentuk tonjolan
bulat.
Hernia Pantalon
merupakan kombinasi hernia
inguinalis dan medialis
pada satu sisi. Kedua kantong hernia dipisahkan oleh vasa epigastrika inferior
sehingga membentuk seperti celana. Untuk menegakkan diagnosa biasanya baru di
temukan sewaktu operasi.
2.1.4 Menurut Sifat
Menurut
sifatnya, hernia dapat disebut reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk.
Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi ketika berbaring atau
didorong masuk perut, dan juga tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus.
Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut disebut
hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlengketan isi kantong pada
peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan usus.2
Hernia
di sebut inkarserata atau strangulata, bila isinya terjepit oleh cincin hernia
sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut
yang berakibat terjadinya gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis
hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan
pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi di sebut hernia strangulata.2
Berikut ini adalah gambar mengenai hernia usus.
Gambar
2.2
Ket. Gambar 2.2
Henia usus
1.
Kulit dan jaringan subkutan.
2.
Lapisan otot atau aponeurosis.
3.
Peritoneum parietal dan jaringan preperitoneal.
4.
Kantong hernia dengan usus.
A.
Hernia reponibel tanpa inkaserasi dan strangulasi.
B.
Hernia ireponibel atau hernia akreta karena perlekatan. Tidak ada
gejala atau gangguan pasase isi usus.
C.
Hernia inkarserata dengan ileus obstruksi usus
D.
Hernia strangulata, dan ileus obstruksi terdapat nekrosis sampai
gangren karena peredaran darah terganggu.
2.1.5 Etiologi
Hernia
inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang
didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia dan lebih banyak terjadi pada
kaum laki-laki dari pada kaum perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada
pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga
dapat dilalui oleh isi kantong dan hernia.2
Pada
orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia
inguinalis yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur otot
oblikus internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus ketika berkontraksi,
dan adanya fasia transversa yang kuat, yang menutupi trigonum Hasselbach
umumnya tidak berotot. Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya
hernia.2
Faktor
yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis yang terbuka, peninggihan
tekanan didalam rongga perut dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Proses turunnya testis mengikuti prosesus vaginalis. Pada neonatus kurang lebih
90% prosesus vaginalis tetap terbuka, sedangkan bayi umur satu tahun sekitar
30% prosesus vaginalis belum tertutup. Akan tetapi kejadian hernia pada umur
ini tidak sampai 10% anak dengan prosesus vaginalis paten menderita hernia.
Pada umumnya disimpulkan adanya prosesus vaginalis yang paten bukan merupakan
penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor lain, seperti
anulus inguinalis yang cukup besar.2
2.1.6 Patogenesis
Hernia
dapat terjadi pada semua umur, mulai dari bayi sampai dengan orang tua. Hernia
inguinalis lateralis adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus.
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8
kehamilan, terjadi penurunan testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis
tersebut akan menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga terjadi penonjolan
peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritoneal.3
Pada
bayi yang sudah lahir, umumnya proses ini telah mengalami obliterasi
(penyempitan/mengecil), sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis
tersebut. Namun dalam beberapa hal, seringkali kanalis ini tidak menutup.
Biasanya yang sering terkena hernia adalah bayi atau anak laki-laki karena
testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering
terbuka. Bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga terbuka. Dalam
keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.3
Bila
prosesus terbuka terus karena tidak mengalami obliterasi, akan timbul hernia
kongenital. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup. Namun karena tekanan
intraabdominal meningkat, kanal tersebut dapat terbuka kembali dan timbul
hernia inguinalis lateralis akuisita (didapat).3
Keadaan
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal adalah kehamilan,
batuk kronis, pekerjaan mengangkat beban
berat, megejan pada saat defekasi dan mengejan padasaat miksi misalnya akibat
hipertropi prostat.3
Umumnya
hernia tidak menimbulkan nyeri. Namun bila sudah terjadi jepitan isi hernia
oleh cincin hernia maka akan menimbulkan nyeri. Akibat banyaknya usus yang
masuk, menyebabkan gangguan aliran isi usus diikuti dengan gangguan vaskuler,
menyebabkan pembuluh darah di daerah tersebut lama kelamaan akan mati dan akan
menjadi penimbinan racun. Jika dibiarkan terus, maka racun tersebut akan
menyebar ke seluruh daerah perut sehingga dapat menyebabkan infeksi didalam
tubuh.
Infeksi
akibat hernia menyebabkan penderita merasa perut kembung, muntah, konstipasi
dan merasakan nyeri yang hebat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah dan
pasien gelisah, maka harus segera ditangani oleh dokter, karena dapat mengancam
nyawa penderita.2 Sebenarnya tidak semua hernia harus dioperasi.
Bila jaringan hernia masih dapat dimasukkan kembali, maka tindakannya adalah
reposisi dengan memasukkan bantalan penyangga untuk mempertahankan hernia yang
telah direposisi. Pada hernia incarserata sering terjadi dibawah 2 tahun.
Reposisi
spontan dapat terjadi karena cincin hernia pada anak-anak lebih elastis. Bila
usaha reposisi ini berhasil, anak disiapkan untuk operasi pada hari berikutnya.
Jika reposisi hernia tidak berhasil dalam waktu enam jam, maka harus dilakukan
operasi.2
2.1.7 Gambaran Klinis
Umumnya
pada orang dewasa keluhannya berupa benjolan dilipatan paha yang timbul pada waktu mengejan, batuk
atau pada saat mengangkat beban berat
dan menghilang pada waktu istirahat
baring. Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan yang hilang timbul
di lipat paha biasanya diketahui
oleh orang tua. Jika hernia mengganggu anak atau bayi sering gelisah, banyak menangis dan kadang-kadang
perut kembung harus dipikirkan
kemungkinan terjadinya hernia strangulata.2
Pada
inpeksi, perhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum atau labia dalam
posisi berbaring dan berdiri.
Penderita diminta mengejan
atau batuk sehingga adanya benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat. Palpasi
dilakukan dalam keadaan ada benjolan
hernia, diraba konsistensinya dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi.2
2.1.8 Tata laksana hernia
Pengobatan
operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional pada hernia inguinalis.
Indikasi operatif sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi
hernia ada dua yaitu herniotomi dan hernioplastik/herniorafi. Pada herniotomi
dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong hernia dibuka
dan isi hernia dibebaskan bila ada perlengketan, kemudian direposisi. Kantong
hernia dijahit-diikat setinggi mungkin lalu dipotong.
Pada herniorafi
dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat
dinding belakang kanalis inguinalis.2
2.2 Tinjauan umum pembedahan
Yang
dimaksudkan dengan pembedahan adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.
Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan dengan membuat sayatan.
Setelah bagian tubuh yang akan ditangani di tampilkan, dilakukan tindakan perbaikan
kemudian ditutup dengan jahitan.1
Dalam
melakukan pembedahan ada tiga proses yang dilalui, yaitu preoperatif/prabedah,
intraoperatif/intrabedah dan postbedah/spostoperatif yang disebut perioperatif.
Preoperatif
adalah masa sebelum pembedahan atau anestesi, pasien yang akan menjalani
anestesi dan pembedahan (elektif / darurat) harus dipersiapkan dengan baik.
Kunjungan prabedah pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat dilakukan sesingkat mungkin, dengan tujuan mempersiapkan mental
dan fisik pasien secara optimal, menentukan klasifikasi ASA, merencanakan dan
memilih obat-obatan anestesi yang sesuai. Persiapkan prabedah sangat penting
sekali untuk mengurangi resiko komplikasi yang mungkin terjadi, karena hasil
akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan awal penderita.3
Intraoperatif
adalah masa dimana dilakukan pembedahan, sehingga diperlukan suatu perhatian
khusus baik petugas bedah maupun anestesi. Hal terpenting untuk petugas
anestesi adalah melakukan monitoring pada pasien, sehingga operasi dapat
berjalan dengan baik dan juga untuk mengetahui adanya tanda-tanda kegawatan
yang mungkin terjadi.
Postoperatif
adalah suatu keadaan atau masa dimana telah dilakukan tindakan anestesi maupun
pembedahan. Pada umumnya setelah dilakukan pembedahan pasien diistirahatkan di
ruang pemulihan sampai pasien pulih atau sadar penuh.
2.3 Tinjauan Umum Anestesi
2.3.1 Definisi
Anestesi
berasal dari bahasa Yunani an yang berarti tidak dan esthesia
yang berarti rasa, sehingga dapat berarti hilangnya rasa atau sensasi. Kata anesthesia
diperkenlakan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara karena pemberian obat, dengan tujuan untuk
menghilangkan sensasi rasa nyeri pada saat pembedahan. Sedangkan analgesi ialah
pemberian obat untuk menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien.6
2.3.2 Klasifikasi Anestesi
2.3.2.1 General Anestesi
Anestesi
umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit
secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat putih kembali.2
Hilangnya segala sensasi perasaan panas, dingin, rabaan, kedudukan tubuh
(posture), nyeri dan disertai hilangnya kesadaran.7 Anestesi umumnya
terdiri dari tiga komponen yaitu : Hipnotik, analgesi dan relaksasi. Cara
pemberian obat untuk anestesi umum dapat melalui; pertama, Parentetal
(Intramuskural / Intravena), pemberian ini digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anestesi.
Yang
kedua bisa melalui Perrectal (peranus), diberikan pada anak untuk induksi
anestesi atau tindakan singkat/ diagnostik pada pemeriksaan mata, telinga, penyinaran, rontgen foto. Ketiga,
dapat melalui inhalasi/ anestesi inhalasi (valatile agent), yaitu menggunakan
gas/cairan anestesi sebagai zat anestetik yang mudah menguap melalui udara
pernafasan.3
Teknik
ini digunakan untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitoneum, toraks,
intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi
tertentu yang memerluakn pengendalian pernafasan.3
2.3.2.2 Regional Anestesi
Regional
anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara regional
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestesi regional dapat dengan
cara, pertama yaitu blok sentral (blok neuroksial), yang meliputi blok spinal
dan epidural dan tindakan ini sering dikerjakan. Pengertian blok spinal adalah
penyuntikan obat anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid. Sedangkan blok
epidural adalah penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang epidural. Yang
kedua yaitu blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis,
aksiler, dll.6
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Penatalaksaan Perioperatif
3.1.1 Manajemen Perioperatif
Pada
tahap ini petugas anestesi melakukan kunjungan kepada penderita untuk
berinteraksi dengan penderita dan keluarganya, tahap ini juga diperlukan untuk mengurangi tingkat kecemasan
serta menanamkan rasa kepercayaan penderita kepada petugas. Evaluasi dan
persiapan penderita dilakukan pada saat kunjungan.
3.1.1.1 Anamnesa
Yang
pertama adalah melakukan anamnesa untuk mengetahui identifikasi penderita yang
terdiri dari nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, status perkawinan, dll.
Menanyakan juga keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
Adakah riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti, diabetes melitus, penyakit paru-paru kronis, (asma
bronkial, pneumnia, dan bronkitis), penyakit jantung (infark miokard, angina
pektoris dan gagal jantung), hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
Riwayat
obat-obatan yag meliputi alergi obat, obat yang sedang digunakan dan dapat
menimbulkan interaksi dengan obat anestesi seperti, korsikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, golongan aminoglikosida, digitalis, dieuretikal,
obat anti alergi, obat penenang dan bronkodilator. Adakah riwayat anestesi/
operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi,
komplikasi, dan perawatan intensif pascaoperatif untuk menjadi acuhan dalam
pertimbangan anestesi.3 Ditanyakan juga riwayat kebiasaan
sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi, seperti merokok, minum
alkohol, obat penenang, narkotik, riwayat keluarga yang mendrita kelainan
seperti hipertermia maligna. Ditanyakan pula berdasarkan sistem organ yang
meliputi keadaan umum, pernapasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointensinal,
hematologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan dermatologi.3
Pada
anak-anak yang belum bisa bicara dilakukan alloanemnesa, yaitu komunikasi
dilakukan dengan orang tua, atau keluarga yang mengantarnya. Apabila perlu,
konsultasikan dengan pediatri. Bila anak ditemukan demam, batuk-batuk, kelainan
hidung (rhinitis), atau gastroenteritis (diare), pembedahan sebaiknya
diundurkan.3
3.1.1.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
yang kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik, yang dapat dilakukan dengan
pengukuran tinggi badan, menimbang berat badan, yang diperlukan untuk
menghitung dosis obat, terapi pemberian cairan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan. Menghitung frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan
frekuensi pernapasan, serta suhu tubuh karena dengan kenaikkan maupun penurunan
suhu tubuh dapat mempengaruhi pola dan frekuensi napas serta nadi.
Pemeriksaan
jalan napas (airway), diperiksa juga pada daerah kepala dan leher untuk
mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, apakah ada gigi palsu, atau
gangguan fleksi, ekstensi leher, devisiasi trakea, dan massa untuk menilai
apakah ada kesulitan intubasi.3 Lakukan pemeriksaan jantung, untuk
mengevaluasi kondisi jantung, apakah ada kelainan jantung yang didapat pada
orang dewasa dan pada anak-anak sebagai penyakit bawaan (congenital).
Pemeriksaan pada Paru-paru, untuk mengetahui adanya dispnu, ronki, dan mengi
yang dapat menggangu frekuensi dan pola pernapasan. Pada abdomen lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya distensi, massa, asites, atau hernia.
Pemeriksaan
daerah ekstremitas terutama untuk melihat perpusi distal, adanya jari tumbuh,
sianosis, atau infeksi kulit, dan juga untuk melihat tempat-tempat fungsi vena
atau daerah blok saraf regional. Daerah punggung juga diperiksa bila ditemukan
adanya deformitas, memar atau infeksi terutama dengan pemilihan anestesi
regional. Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran
dan fungsi sensasi motorik, yang diperlukan untuk menentukan status fisik
pasien.3
3.1.1.3 Pemeriksaan laboratium
Pemeriksaan
Laboratium, ada yang dilakukan pemeriksaan rutin seperti, darah (hemoglobin,
leukosit, hitung jenis leukosit, golongan darah, masa perdarahan,dan masa
pembekuan), urin (protein, reduksi, dan sedimen), foto dada terutama (untuk
bedah mayor), elektrokardiografi (untuk pasien berusia diatas 40 tahun). Ada
juga yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila terdapat riwayat atau
indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri pada pasien tumor
paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada pasien hipertensi
atau pasien yang mengalami gangguan miksi.3
3.1.1.4 Konsultasi dengan bagian medis lain
Lakukan
konsultasi kepada bagian medis lain bila di temukan adanya kelainan atau
gangguan dari sistem tubuh, selain penyakit bedah yang dapat mempengaruhi
keselamatan penderita. Misalnya, penyakit dalam, neurologi, psikiatri, dll.
3.1.1.5 Klasifikasi Status Fisik (ASA)
Berdasarkan
hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik pasien, American
Society Of Anestesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi
kelas-kelas :
a.
Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental
b.
Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
c.
Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat
yang menyebabkan keterbatasan fungsi.
d.
Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam
hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
e.
Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24 jam
dengan atau tanpa operasi.
f.
Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat
diambil.
g.
E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka
penggolongan ASA di ikuti huruf E (misalnya I E atau 2 E).3
3.1.2 Pemilihan tehnik anestesi
Pemilihan
anestesi berdasarkan atas usia penderita, status fisik penderita (adakah
penyakit sistemik yang diderita, bentuk fisik penderita), jenis pemnedahan
(kecil atau besar, terncana atau darurat, lokasi pembedahan serta posisi
penderita), keterampilan dan pengalaman ahli bedah serta keterampilan dan
pengalaman dokter dan perawat anestesi.6
3.1.2.1 Indikasi anestesi umum
Anestesi
umum digunakan untuk bayi dan anak-anak, dewasa yang ingin dianestesi umum,
prosedur operasi yang lama dan rumit seperti, pembedahan abdomen yang luas,
intraperitoneum, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu yang
memerlukan pengendalian pernafasan, serta penderita dengan gangguan mental.6
Bila
pemilihan anestesi umum dengan tindakan langoskopi dan intubasi trakea, maka
dapat menimbulkan komplikasi. Laringoskopi adalah alat yang digunakan untuk
melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan
baik dan benar. Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira di
pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Komplikasi yang
timbul selama intubasi antara lain, trauma gigi-geligi, laserasi pada bibir,
gusi, laring, dapat merangsang saraf simpatis sehingga terjadi hipertensi atau
takikardi, aspirasi, dan spasme bronkus. Komplikasi yang timbul setelah
ekstubasi adalah, spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema
gotis-subglotis, dapat juga menimbulkan infeksi pada laring, faring dan trakea.6
3.1.2.2 Indikasi anestesi regional
Anestesi
regional digunakan untuk orang dewasa, dengan indikasi bedah ekstremitas bawah,
operasi kebidanan, bedah urologi, tindakan sekitar rektum – perineum. Kontra
indikasi absolut regional anestesi yaitu
tidak boleh diberikan apabila pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolema berat, syok, koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan,
fasilitas resusitasi yang minim, kurang pengalaman atau tanpa didampingi
konsultan anestesia.6
3.1.3 Persiapan alat dan obat anestesi
3.1.3.1 Persiapan alat
Alat-alat
harus dipersiapkan lebih dulu sebelum tindakan anestesi dilakukan, hal ini
untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan selama anestesi
berlangsung. Persiapan alat-alat ini meliputi :
1.
Persiapan mesin anestesi antara lain, Canester yang berisi sodalime
berfungsi sebagai absorber
untuk mengikat karbondioksida yang dikeluarkan
oleh pasien waktu ekspirasi, cairan volatil seperti isofluran, halotan,
enfluran, atau secofluran, nitorus oksida, dan oksigen.
Pastikan flow
meter berfungsi dengan baik, vaporiser tidak bocor dan terisi dengan
baik oleh cairan volatil halotan, enfluran, isofluran, atau sevofluran,
pastikan sirkuit aliran oksigen dan nitrous oksida berfungsi dan tidak bocor.3
2.
Persiapan alat-alat intubasi antara lain, Scope yang terdiri
dari Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung dan laringo-scope
untuk melihat laring. Pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia pasien. Blade lurus (Manchintos) untuk
bayi atau anak-anak dan blade lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar
dan orang dewasa, serta lampunya harus cukup terang. Tubes atau pipa
trakea, pilih nomor sesuai usia yaitu usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed). Menjaga agar airway atau
jalan nafas tetap bebas dengan menggunakan pipa mulut- faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar sehingga lidah tidak menyumbat jalan
napas, dan juga agar pipa trakea tidak tergigit.
Diperlukan juga
tape atau plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut. Introducer yaitu dipakai mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel), yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan ke dalam trakea.
Connector sebagai penyambung antara pipa dan peralatan anestesi. Suction
untuk penyedot lendir, ludah dan lain-lain. Spuit 10 cc untuk pengisian
udara pada caff pipa trakea.
Face mask atau sungkup muka untuk mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien dengan napas spontan atau dengan tekanan positif, tidak
bocor sehingga gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung. Ukuran untuk
anak 1,2, dan 3, sedangkan pada orang dewasa no 4 dan 5. Sungkup laring atau
LMA (laringeal mask airway) adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri
dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok, yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Ukuran untuk anak no 1,dan
2. pada orang dewasa no 3, 4, dan 5.6
3.
Alat-alat intravena line yang terdiri dari abocath
dengan ukuran yang sesuai dengan jenis operasi. Umumnya pada anak-anak
digunakan no besar yaitu no 22 dan 24,
tetapi untuk terapi cairan intravena jangka lama dipasang kanul besar no 18 atau 20. Sedangkan orang
dewasa dapat menggunakan no 14, 16, 18 dan 20. Untuk terapi cairan intravena
jangka lama sebaiknya dipasang kanul 18 atau 16.
Untuk tranfusi
darah atau dalam keadaan syok sebaiknya dipakai kanul besar No. 14 atau 16 agar dapat
memasukkan cairan yang banyak dan cepat. Selang tranfusi set /
infusion set yang digunakan untuk mengalirkan cairan ataupun darah dari
flabotnya ke tubuh pasien. Cairan infus berupa cairan kristaloid dan cairan
koloid serta darah bila diperlukan.
3.1.3.2 Persiapan Obat
3.1.3.2.1 Obat Anestesi Intravena
Natrium
tiopental (tiopental,
pentotal). Tiopental adalah Tiopental berupa bubuk kuning, yang bila akan
digunakan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian
tiopental adalah induksi anestesi umum., operasi/tindakan yang singkat
(reposisi fraktur, insisi, jahit luka, dilatasi serviks, dan kuretase), sedasi
pada anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang eklamsia atau epilepsi.
Kontraindikasinya
adalah status asmatikus, syok, anemia, disfungsi hepar, dispnu berat, asma
bronkial, miastenia gravis, dan riwayat alergi terhadap tiopental. Keuntungan
penggunaan tiopental adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, tidak
ada iritasi mukosa jalan napas, masa pemulihan cepat, sedangkan kerugiannya
adalah dapat menyebabkan depresi pernapasan, depresi kardiovaskuler, cenderung
menyebabkan spasme laring, relaksasi otot perut kurang, dan bukan analgetik.
Dosis induksi tiopental adalah 3-6 mg/kgBB intravena, dosis sedasi 0,5-1,5
mg/kgBB.3
Propofol
(diprivan 1%, fresofol 1%, recofol).
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak
kedelai, 2,25% gliserol, dan lesitin telur. Propofol sebagai obat anestesi umum
yang bekerja cepat, efek obatnya dicapai dalam waktu 30 detik.3
Secara umum, propofol dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan sedikit
perubahan frekuensi denyut jantung pada saat induksi maupun maintenance.
Akan
tetapi gangguan hemodinamik yang serius jarang terjadi. Depresi pernapasan
dapat terjadi, tetapi bila dosis dan cara penberian sesuai dengan yang
dianjurkan maka hal ini masih dalam batas yang bisa di kendalikan. Propofol
dapat menurunkan tekanan intrakranial. Pemulihan cepat, tanpa rasa pusing atau
sakit kepala dan tanpa rasa mual dan muntah. Indikasi adalah untuk penberian
induksi dan maintenance anestesi umum, juga untuk sedasi pada pasien dewasa
yang mendapat perawatan intensive dengan bantuan ventilasi. Propofol tidak
dianjurkan untuk anak-anak-anak dibawah umur 3 tahun.8 Sebaikknya
pemberian obat ini pada vena besar karena dapat menimbulkan nyeri. Dosis induksi
1-2,5 mg/kgBB. Dosis sedasi 25-100 mg/kgBB/menit infus.Dosis maintenance 4-12
mg/kgBB/jam.3
Ketamin
(ketalar, anesject).
Ketamin adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat, bukan barbiturat.
Menyebabkan Perubahan kesadaran yang disertai analgesik kuat yang disebut
anestesi disosiatif. Ketamin menimbulkan produksi saliva meningkat, sehingga
bahaya aspirasi dapat terjadi. Indikasi pemakaian adalah prosedur diagnostik,
tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi, untuk analgesi dan anestesi pada
obstetric, dan pasien asam.8 Kontraindikasi adalah tekanan sistolik
160 mmHg dan diastolik 100 mmHg, riwayat penyakit serebrovaskular, gagal
jantung, penderita alkoholisme, dan pada kasus-kasus dengan tekanan
intrakranial yang tinggi. Ketamin menimbulkan efek halusinasi dan bila
penggunaan yang lama pada pasien epilepsi, dapat meningkatkan frekuensi
serangan.
Diperingatkan
untuk pemberian secara intravena dilakukan secara perlahan-lahan karena dapat
menimbulkan depresi pernafasan atau apnoe, ketamin dan barbiturat tidak boleh
bergabung karena akan menimbulkan gumpalan dan dapat memperpanjang masa
pemulihan.8 Dosis induksi 1-4 mg/kgBB intravena, rata-rata 2
mg/kgBB, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan. Dosis pemberian
intramuskular 6-13 mg/kgBB, rata-rata 10 mg/kgBB.3
Midazolam
(dormikum). Midazolam
adalah golongan benzodiazepine obat induksi tidur jangkah pendek untuk
premedeksi, induksi, dan pemeliharaan anestesi. Midazolam bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan juga ada efek ansiolitik, antikonvulsan, serta relaksasi
otot. Midazolma dapat menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin,
menyebabkan setelah persalinan denyut jantung janin tidak teratur, susah
menghisap susu serta hypotermia, sehingga midazolam tidak dianjurkan untuk ibu
hamil, juga penderita insufisiensi paru-paru akut, dan depresi pernafasan.
Dosis premedikasi 0,07-0,10 mg/kgBB. Dosis sedasi 2,5 mg diberikan 5-10 menit sebelum
tindakan, selanjutnya 1 mg dapat diberikan jika diperlukan.8
Diazepam
(valium). Diazepam
adalah golongan obat benzodiazepine yang berkhasiat ansiolitik, sedatif,
relaksasi otot, antikonvulsi dan amnesia. Diazepam diindikasikan untuk sedasi
sebelum melakukan tindakan pengobatan utama atau intervensi seperti
kardioversi, kateterisasi jantung, endoscopi, prosedur radiologi, bedah minor. Dikontrainidikasikan
pada pasien depresi pernapasan, psikosis kronis, serta glaukoma.
Diazepam
dapat menimbulkan reaksi withdrawal pada pasien yang ketergantugan obat-obat
dan alkohol. Tanda-tanda withdrawal bervariasi antara beberapa jam hingga satu
minggu atau lebih. Pada kasus ringan biasanya tremor, gelisah, insomnia, ansietas,
sakit kepala, dan ketidakmampuan konsentrasi. Bila sudah berat dapat terjadi
spasme otot dan abdomen, berkeringat, perubahan persepsi, delirium, dan
konvulsi. Dosis premedikasi 10-20 mg intramuskukar, anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB
diberikan 1 jam sebelum induksi anestesi.8
3.1.3.2.2 Obat anestesi Inhalasi
Obat
anestesi dihirup bersama udara pernapasan kedalam paru-paru, masuk kedalam
darah dan sampai di jaringan otak dan mengakibatkan anestesia.
Obat
anestesi yang dipakai dengan cara ini, berupa gas yaitu N20 dan cyclopropane
(tidak dipergunakan lagi karena toksisitas terlalu besar). Dan berupa cairan
yang menguap yaitu ether (chloraethyl, trilene, sekarang sudah tidak
digunakan), halotan, enfluran, isofluran, cevofluran, dan defluran (jarang
digunakan karena strukturnya menyerupai isofluran).
Gas anestesi (N2O
gas gelak)
N2O
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak dan tidak bereaksi dengan
soda lime absorber (Pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai
dengan kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan 50% : 50%. Dosis
untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk
induksi 80% :20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumotoraks, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara,
dan timpanoplasti. Dosis normal 104-105 volume %.3
Obat Anestesi
Inhalasi (volatile)
Halotan
Halotan
merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, mudah menguap, tidak mudah
terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda lime. Induksi cepat dan
lancar, tidak mengiritasi jalan nafas, bronkodilatasi, pemulihan cepat,
proteksi terhadap shock, jarang menyebabkan mual/muntah. Harus dikombinasi
dengan obat analgetik dan relaksan. Dapat menimbulkan hipotensi, aritmia,
meningkatkan tekanan intrakranial, menggigil pascaanestesi dan hepatotoksik.
Dosis, 0,72 volume %
Enfluran
Enfluran
merupakan obat anestesik eter berhalogen berbentuk cairan, mudah menguap, tidak
mudah terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime. Induksi dengan enfluran
cepat dan lancar. Obat ini jarang menimbulkan mual dan muntah serta masa
pemulihan cepat. Dosis : 1,7 volume %
Isofluran
Isofluran
merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik merupakan
laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak
dan tekanan intra kranial. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal sehingga digemari untuk anestesi pada pasien dengan gangguan koroner.
Dosis : 1,2 volume %.3
Desfulran
Desfluran
(suprane) merupakan halogensi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetik volatil lain,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC – 6). Titik didihnya
mendekati suhu ruang (23,50C). Potensi rendah (MAC 6,0%) bersifat
simpatmimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depresi nafasnya
seperti isofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan nafas atas, sehingga
tidak digunakan untuk induksi anestesi. Dosis : 6 volume %
Sevofluran
Sevofluran
merupakan halogenasi eter. Induksi dan pasien pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya enak,tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan nafas sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi. Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem
syaraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dirusak oleh kapur
soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap
manusia. Dosis : 2 volume %.3
3.1.3.2.3 Obat pelumpuh otot
Obat
golongan ini menghambat transmisi neromuskular sehingga menimbulkan kelumpuhan
pada otot rangka. Mekanisme kerja obat ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu
obat penghambat secara depolarisasi resisten (misalnya suksinil kolin), dan
obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi (misalnya kurarin). Pada
anestesi umum obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi
dan intubasi trakes, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dab ventilasi kendali.3
Obat Pelumpuh
Otot Nondepolarisasi
Pavulon
(pankuronium bromida).
Pavulon merupakan obat relaksan yang tidak pernah menimbulkan reaksi
anafilaktik yang berat, sedikit menembus sawar plasenta sehingga sangat
bermanfaat pada bedah obstetrik. Obat ini sebagian dikeluarkan melalui ginjal
dan sebagian masuk kedalam cairan empedu, sehingga obat ini jangan diberikan
kepada pasien gagal ginjal dan pasien dengan obstruksi total cairan empedu.
Sebagian obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hepatik, untuk itu
pemberian pada pasien cirrosis hepatis perlu dosis yang lebih besar tetapi
dengan resiko apnoe yang memanjang sampai pascaoperatif.8 Mula kerja
obat ini pada menit kedua-ketiga selama 20-40 menit. Dosis dewasa 0,06-0,1
mg/kgBB. Dosis bayi 0,13 mg/kgBB. Kemasan ampul 2 ml berisi pavulon.3
Vekuronium
(norkuron). Vekuronium
merupakan hormolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat. Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna. Di metabolisme dalam liver dan dikeluarkan melalui ginjal. Mula kerja
pada menit kedua-ketiga dengan masa kerja selama 30 menit. Dosis 0,1-0,2
mg/kgBB. Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya dapat
berupa akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrose 5% sebanyak 2
ml.3
Rokuronium
(esmeron). Zat rocuronium
merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat dan efek kerjanya
lebih lama. Dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hati, tetapi tidak
mengganggu fungsi ginjal. Obat ini dapat menembus sawar plasenta tetapi tidak
menimbulkan efek yang bermakna. Pada anestesi dengan tehnik hipotermi dapat
memperpanjang efek obat. Mula kerja obat 60-90 detik dan masa kerja 40-50
menit. Dosis 0,6-1 mg/kgBB. Kemasan berupa flakon, tiap ml mengandung 10 mg
rokuronium bromide.8
Trakrium
(atrakurium besilat).
Atrakurium tidak mempunyai efek akumulasi pasa pemberian berulang, dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna. Keunggulan obat ini
metabolisme terjadi di dalam darah, sehingga tidak tergantung fungsi hati dan
ginjal. Mula kerja obat ini menit kedua-ketiga dan lama kerja 15-30 menit.
Dosis 0,3-0,6 mg/kgBB. Kemasan dalam ampul 5 ml berisi 50 mg trakurium.3
Obat Pelumpuh
Otot Depolarisasi
Suksametonium
(suksinil kolin). Suksametonium mempengaruhi sistem kardiovaskuler yang dapat menyebabkan
bradikardi dan cardiac arrest pada pemberian ulangan ataupun pada suntikan
pertama. Hal ini dapat dicegah dengan pembetian atropin sebelumnya. Cardiac
arrest akibat hiperkalemi setelah pemberian suksametonium dapat terjadi pada
pasien yang sebelumnya telah ada hiperkalemi, seperti pasca luka bakar,
tetanus, dan juga multiple trauma.
Setelah
pemberian obat ini terjadi fasikulasi yang diperkuat dengan isoflurance,
anticholinesterase, dan magnesium. Fasikulasi yang terjadi menyebabkan rasa
sakit pada otot 3-4 hari pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini 30-60
detik dan lama kerja 3-5 menit. Dosis 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan dalam
flakon 20, 50 atau 100 mg/ml.3
3.1.3.2.4 Obat Analgetik Narkotik
Morfin. Morfin dapat digunakan sebagai untuk mengurangi kecemasan dan
ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada pemberian
trikloroetilen, dan agar anestesi dapat berjalan dengan tenang dan dalam.
Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta
kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan depresi napas,
ini dapat dilawan dengan pemberian atropin secara intravena.3 Dosis
premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB). Diberikan 90 menit sebelum
anestesi dimulai. Pada orang tua dan anak-anak dosisnya dikurangi dan tidak
boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun karena membahayakan.8
Pethidin. Daya kerja Pethidin menyerupai morfin tetapi efek yang ditimbulkan
lebih rendah dari morfin. Tujuan dari pemberian Pethidin dapat menekan tekanan
darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Selain itu, efek samping yang
dapat timbul antara lain berkeringat, hipotensi, vertigo dan lengan terasa
kesemutan. Dapat juga menimbulkan mual-muntah pada masa pascaoperatif sama
seperti morfin.8 Dosis untuk premedikasi 25 – 100 mg/kgBB. Dosis
analgesik pascaoperatif 50 – 100 mg intramuskuler atau per infus. Kemasan dalam
ampul 2 ml / 100 mg.3
Fentanyl. Fentanyl adalah obat analgesik yang kuat berupa cairan isotonik
steril. Dapat dipakai sebagai suplemen narkotik-analgesik dalam anestesi umum
atau regional. Efek yang ditimbulkan adalah depresi pernapasan yang dapat
berlanjut sampai masa pascaoperatif, dimana efek ini dapat dinetralkan dengan
antagonis narkotik yaitu naloxone, dosisnya 0.1 – 0.4 mg/ intravena. Untuk
menjaga terjadinya bradikardi dianjurkan memberikan obat anticholinergis dosis
rendah secara intravena sebelum induksi anestesi. Dosis 1 – 5 µg/kgBB. Kemasan
dalam bentuk ampul 2 ml/ 100 µg.8
Analgetik
nonnarkotik
Ketorolak
(Toradol, Remopain).
Obat ini dapat mengatasi nyeri ringan sampai berat pada kasus-kasus emergensi,
muskuloskeletal, pascabedah minor dan mayor, kolik ginjal dan nyeri pada
kanker. Obat ini baik untuk pemberian pascaoperatif dengan dosis tunggal intravena 30 mg dan dapat
diulangi tiap enam jam, maksimum 120 mg atau tidak boleh lebih dari lima hari.8
Obat Anestesi
Regional
Penggolongan
Obat Anestesi Reegional diantaranya yaitu Bupivacaine 0,5% ( Marcaine 0,5% ),
Dosis sampai 4 ml dan pada usia lanut dosisnya dikurangi. Lignocaine HCL, BP
5%, obat ini dicampur dengan dextrose 3% dan 7%. Dosis : 1,5 ml dapat memberikan analgesia
kira-kira 2 jam, blockade sampai umbilicus. Prilocaine 5% dalam larutan 5% durasi
efeknya sama dengan lignocaine. Amethocaine HCl, BP dalam bentuk puder isinya
20 mg dalam ampul, dan dalam bentuk cair 1% berisi 10 mg/ml. dosis maksimum 20
mg. Procaine HCl, BP 5% atau kurang durasi efek : 40 – 80 menit. Mepivacaine
HCl 4% durasi efek kira – kira 1 jam.6
Obat Resuitasi
Obat
Anticholinergik yaitu sulfas atropine , dosis umumnya 0,1 mg/kgBB,
anak-anak dosis 0,015 mg/kgBB dan hyoscine buytlbromide (buscopan), dosis 10 –
20 mg. Vaso Pressor / Vaso dilator yaitu adrenalin, untuk cardiac arres
dosis 0,5mg (0,5 ml dari larutan 1/1000); untuk anafilaktik shock 0,1 mg dan
ephedrine, Bp, Dosis 15-30 mg. Oksitosin, metergin dan magnesium dipersiapkan
untuk pasien obsertik. Untuk pasien hipoglikemia dapat diberikan dekstrose 40%.
Dan untuk pasien gangguan respiratorik dapat diberikan aminofilin. Bila pasien
mengalami alergi maka dapat diberikan kortikosteroid antara lain deksametason,
dosis 4-100 mg, Prednisone, dosisnya 20 mg, Hydrocotisone hemisuccitane,
dosisnya 100 mg.
Obat
furosemid/Lasix; Mannitol, dosisnya 0,5-1mg/ kgBB secara infus digunakan
larutan 10% dan 20% digunakan untuk dieuretik. Oba anticholinesterase yaitu
neostigmine (Prostigmen), dosisnya 2,5 mg memiliki efek antagonis terhadap
relaksan nondepolarizing. Naloxone, dosis dewasa 0,1-0,4 mg/intravena; Neonatus,
dosis 0,01 mg/kgBB sebagai narkotik antagonis.8
3.1.4 Persiapan pasien Sebelum hari operasi
Pembersihan
dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi isi lambung, karena
regurgitasi/muntah. Pada operasi elektif, pasien dewasa puasa 6-8 jam, pada
anak cukup 3-5 jam. Dan gigi palsu, bulu mata palsu, perhiasan (cincin, gelang,
kalung) dilepas serta bahan kosmetik (lipstik, cat kuku), di bersihkan sehingga
tidak mengganggu pemeriksaan.
Kosongkan
juga kandung kemih dan bila peelu lakukan katerisasi, bersihkan lendir dari
saluran napas. Jangan lupa memberikan informed consent kepada keluarga dan
membuat izin pembedahan/anestesi secara tertulis. Sebelum pasien masuk kamar operasi
harus mengenakan pakaian khusus (diberi tanda dan label, terutama pada bayi).
Pemeriksaan tentang fisik pasien dapat diulangi di ruang operasi.3
3.1.4.1 Premedikasi
Premedikasi
adalah penberian obat-obatan 1 atau 2 jam sebelum induksi secara oral,
intramuskular, intravena maupun perrektal. Adapun tujuan dari pemberian
premedikasi adalah, menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan
kekuatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia dan memberikan analgesi),
juga untuk memudahkan/memperlancar induksi, rumatan dan sadar dari anestesi
serta mengurangi jumlah obat-obatan anestesi. Dapat mengurangi timbulnya
hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah pascaoperatif, stress fisiologis
(takikardi, napas cepat) dan keasaman lambung.
Adapun
obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
Sulfas atropin, 0,1 mg/kgBB dipakai untuk pengobatan bradikardi dan sebagai
therapi tambahan pada pengobatan bronkhospasme serta tukak lambung. Atropin
secara kompetisi mengantagonisir aksi asetil kolin pada reseptor muskarinik,
menurunkan sekresi saliva, bronkhus dan lambung serta merelaksasi otot polos.8
Diazepam per oral 10-15 mg untuk pereda kecemasan.
Pethidin 50 mg untuk mengurangi nyeri atau kesakitan. Simethidin/ranithidin
150 mg untuk mengurangi ph asam cairan lambung, Ondacetron, 2-4 mg untuk
mengurangi mual-muntah pascabedah.
3.1.5 Penatalaksanaan Tindakan Anestesi Terhadap
Pasien yang Menjalani Operasi Hernioraphy pada HIL Inkarserata.
Berikan
pre-oksigenisasi dengan oksigen 100% 2-3 liter selama 3-5 menit sebelum
induksi. Untuk Induksi dan intubasi di lakukan bila operator yaitu dokter bedah
sudah siap. Setelah induksi dan intubasi maka operasi dilakukan. Induksi
dilakukan dengan menggunakan penthotal 4 – 6 mg / kgBB atau propofol 2 – 2,5 mg
/ kgBB. Untuk inhalasi diberikan nitrous oksida: oksigen dipakai 50:50 dengan
konsentrasi volatile yang rendah. Berikan pelumouh otot nondepolarisasi yaitu,
atrakurium 0,3-0,6 mg/kgBB atau esmerron 0,6 mg/kgBB, bila pasien sudah rileks
maka dapat lakukan intubasi.
Pada
operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush induction) untuk mencegah
aspirasi selama tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada pasien dengan
lambung penuh. Selain peralatan intubasi dipersiapkan pula alat pengisap lendir
dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam posisi setengah duduk atau
telentang dengan posisi kepala lebih rendah. Awali dengan penberian 02 100%
(praoksigenisasi) selama tiga sampai lima menit kemudian berikan obat pelumpuh
otot nondepolarisasi
dosis (prekurarisasi). Suntikan obat induksi
cepat diberikan sampai refleks bulu mata hilang. Tulang krikoid ditekan ke arah
posterior (sellick manouver) dan kemudian obat pelumpuh otot
depolarisasi diberikan. Setelah itu dilakukan tindakan laringoskopi dan
intubasi. Bila pipa endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera
dikembangkan.7
3.1.6 Monitoring Intraoperatif
Kontrol
tekanan darah systole dan diastole tidak boleh naik diatas 20% baseline atau
turun 20% dibawah baseline, dapat dilakukan dengan menggunakan alat monitor
automatik atau dengan tensimeter manual. Monitoring pada nadi dapat dilakukan
dengan, tehnik palpasi (merasakan dengan tangan) dan dibantu dengan alat
elektronika / pulse oximetri dan juga stethoscope untuk mendengarkan detak
jantung. Pernapasan dapat dilihat pada monitor,bila ada gangguan dapat di
pantau dengan pemasangan saturasi, dapat dilakukan melalui suatu monitor dengan
alat sensor yang dipasang pada jari utuk melihat nadi dan saturasi oksigen. Monitoring
Diuresis dilakukan untuk mengetahui adanya kekurangan cairan atau gangguan pada
ginjal. Monitoring pemberian cairan infus perlu dilakukan agar pasien tidak
mengalami kekurangan cairan akibat puasa maupun pembedahan.7Monitoring
suhu badan dengan menggunakan thermometer secara manual atau dengan monitor
outomatik.
3.1.7 Ekstubasi
Setelah
operasi selesai, obat anestesi dihentikan pemberiannya. Berikan oksigen 4-6
liter dalam waktu 5-15menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari lendir. Bila
perlu berikan obat anticholinesterase (prostigmin 0,04 mg/kgbb) dan atropin
0,02 mg/kgbb. Jika masih ada depresi nafas oleh narkotik-analgesik berikan
Narkotik Antagonis (Nalolxone) 0,1-0,4 mg secara intravena. Ekstubasi
dilakuakan saat pasien masih teranastesi/tidur dalam, untuk mengurangi
traumatis dan mencegah batuk. Dikerjakan bila nafas spontannya adekuat, keadaan
umumnya baik serta tidak ada resiko aspirasi pulmonal dan tidak memerlukan
intubasi awake atau rapid sequence induction.
3.1.8 Penatalaksanaan Pascaanestesi di recovery
room.
Ruang
pemulihan atau Recovery room (RR) disebut juga unit perawatan
pascaanestesi atau postanesthesia caru unit ( PACU ). Setelah operasi
selesai pasien dibawa ke ruang pemuluhan atau ke ruang rawat intensif bila ada indikasi.
Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan atau monitor sampai pasien sadar betul.
Yang harus di monitor antara lain, keadaan umum, kesadaran, tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain, dll.9
Awasi
keadaan vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah, frekuensi nadi
dan frekuensi pernapsan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit
pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Perbaiki
defisit yang masih ada (cairan, darah, nyeri, mual–muntah,menggigil karena
hipotermia,dll). Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan.
Bila
keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi postoperatif menilai keadaan
umum sebelum pasien dipindahkan ke ruang perawatan, dapat dipakai aldrete
score untuk orang dewasa dan steward Score untuk anak dengan
berbagai kriteria penilaian. Nilai score yang normal 8 -10, pasien dapat
di pindahkan ke ruang
perawatan ataupun pulang bila pasien rawat jalan, tetapi atas ijin dokter
anestesi yang bertugas.9 Score tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1
dan 3.2
Tabel Aldrete
Score, 3.1.
Parameter
|
Kriteria
|
Score
|
Warna
|
-
Merah muda
|
2
|
- Pucat
|
1
|
|
- Sianosis
|
0
|
|
Pernapasan
|
- Mampu
bernafas dalam dan batuk
|
2
|
- Dangkal namun
pertukaran udara adekuat
|
1
|
|
- Apnoe atau
ada sumbatan jalan nafas
|
0
|
|
Sirkulasi
|
- Tekanan darah
menyimpang<20% pre op
|
2
|
- Tekanan darah
menyimpang<20-50% pre op
|
1
|
|
- Tekanan darah
menyimpang<50% pre op
|
0
|
|
Kesadaran
|
- Bangun, sadar
penuh dan orientasi baik
|
2
|
- Beraksi bila
dipanggil namun cepat tertidur
|
1
|
|
- Tidak
berespon
|
0
|
|
Aktivitas
|
- Mampu
menggerakkan 4 ekstremitas
|
2
|
- Dapat
menggerakkan 2 ekstremitas
|
1
|
|
- Tidak begerak
|
0
|
Tabel Steward
Score, 3.2
Kesadaran
Pasien
|
Kriteria
|
Skor
|
Kesadaran
|
- Bangun
|
2
|
- Bereaksi bila
dirangsang
|
1
|
|
- Tidak ada
rekasi terhadap rangsang
|
0
|
|
Jalan
Nafas
|
- Batuk atas
perintah atau menangis
|
2
|
- Jalan nafas
terpelihara baik
|
1
|
|
- Perlu rumatan
jalan nafas
|
0
|
|
Gerakan
tubuh
|
- Mampu
menggerkkan lengan dan tungkai
|
2
|
- Gerakkan
lengan dan tungkai tak terarah
|
1
|
|
- Tidak ada
gerakkan tubuh
|
0
|
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
3.1
SIMPULAN
Hernia
terjadi pada semua usia mulai dari bayi sampai orang dewasa. Hernia merupakan
penonjolan isi suatu rongga karena adanya kelemahan pada dinding organ yang
bersangkutan, yang terjadi karena faktor bawaan ataupun didapat. Bagian hernia
terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia itu sendiri, dimana pilihan terapi
untuk hernia ireponible yaitu melalui operasi.
Pembedahan
dapat dilakukan terencana, tidak harus segera yang meliputi tahap, praoperatif,
intraoperatif dan postoperatif. Khusus untuk hernia inkarserata penatalaksanaan
ditujukan untuk mengatasi nyeri penderita dan mencegah terjadinya strangulata,
sehingga tindakan operasi harus segera dilakuakan. Bila tidak, bagian isi yang
terjepit akan membusuk dan bisa menjadi sumber infeksi ke seluruh dinding usus,
yang dapat berakibat buruk yaitu kematian bagi penderita tersebut.
Tindakan
pembedahan membutuhkan pemberian anestesi. Anestesi adalah keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara karena pemberian obat, ataupun tidak disertai dengan hilangnya
kesadaran, dengan tujuan untuk menghilangkan sensasi rasa nyeri pada saat
pembedahan. Penatalaksanaan anestesi terhadap pasien yang menjalani operasi
herniorafi pada hernia inginal lateralis incarserata yaitu operasinya bersifat
segera, oleh karena itu anestesi disesuaikan dengan kondisi umum penderita,
maka anamnesa, pameriksaan fisik serta analisis penunjang (laboratorium) mutlak
dilakukan dengan teliti, hal ini menuntut pengetahuan dan keterampilan dari
tenaga anestesi untuk menghasilkan suatu kondisi anestesi yang aman dan
efektif.
4.2
Saran
Berdasarkan
pengalaman kesulitan penyusun dalam menyusun makalah ini, karena keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan penyusun tentang obyek penyusunan karya tulis ini,
serta jumlah literatur yang tersedia membatasi pendalaman materi karya tulis
tentang penatalaksanaan anestesi terhadap penderita yang menjalani operasi
herniorafi pada hernia inguinal lateralis inkarserata, karenanya penyusun
mengharapkan kiranya penyusunan karya tulis lainnya akan memberikan analisa
yang lebih aktual demi peningkatan kualitas pelayanan anestesi di masa yang
akan datang. Maka pada kesempatan ini penyusun kiranya dapat memberikan saran
kepada :
4.2.1
Pihak akademik untuk senantiasa menambah koleksi
literatur-literatur yang menunjang program pendidikan, khususnya program studi
anestesi.
4.2.2
Kepada tim bedah dan anestesi agar cepat, tepat dan teliti dalam
menganalisa serta mendiagnosa agar penangan khususnya pada penderita hernia
inkarserata dapat dilaksanakan dengan tepat dan efisien sehingga berbagai
kendala dan resiko dapat diminimalisir.
4.2.3
Rekan-rekan untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan serta
keterampilan, agar dapat menjadi tenaga anestesi yang handal dan dapat
diandalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
2.
R.Sjamsuhidayat, Wim de jong, buku ajar ilmu bedah, edisi
ke-2, jakarta 2004
3.
Arif Mansjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3.
2000.
4.
David C.sabiston, Jr,Md, buku ajar bedah
6.
Said A Latif, dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Ed. 2,
FKUI Jakarta 2002
7.
Wargahadibrata, A. Himendra, Anestesiologi Untuk Mahasiswa
Kedokteran SAGA, Bandung, 2008
8.
Yuswana, farmokologi obat-obat anestesi dan obat-obat bantuan dalam
anestesi, Bandung 2005
9.
Morgan G Edward, Mikhail, Maged S.”Clinical Anesthesiologi”.
Edisi ke4. 2007.
No comments:
Post a Comment