Khutbah Idul Fitri
1430 H: Dengan Ramadhan Tingkatan Jati Diri dan Ukhuwah Islamiyah
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ
أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….
وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ
قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….
وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ
وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ
وَالسَّاعَةُ حَقٌّ…
اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ
وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ
وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ
وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ramadhan telah kita lalui, pada hari ini umat Islam di
seluruh dunia merayakan kemenangannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid
berkumandang dimana-mana, di seluruh jagad raya alam semesta ini, bersatu padu
dalam irama membesarkan Allah, memuji dan mensucikan-Nya, sebagai ungkapan rasa
syukur atas nikmat telah Allah anugerahkan, terutama dapat meraih kemenangan di
hari yang fitri ini. Mengungkapkan syukur atas hidayah dan inayah Allah yang
begitu besar karena telah berhasil mengikuti rentetan ibadah pada bulan
Ramadhan sebagai jaminan untuk mendapatkan ganjaran dan ampunan.
Dengan berakhir dan berlalunya bulan Ramadhan dan rangkaian
ibadah yang ada di dalamnya; ada dua perasaan yang memuncak dalam jiwa setiap
umat; perasaan al-khauf war raja…
Ada perasaan harap dan gembira yang melekat dalam benak
kita, senang dan suka cita yang merasuk ke dalam dada, karena setelah
selesainya bulan Ramadhan jiwa kita –insya Allah- dikembalikan kepada jati diri
yang bersih tanpa noda dan dosa sama seperti saat kita baru dilahirkan dari
rahim ibu kita dulu, menjadi fitri (suci) kembali, sebagaimana Rasulullah saw bersabda
:
إن الله فرض
عليكم صيام رمضان وسننت قيامه فمن صامه وقامه احتسابا خرج من الذنوب كيوم ولدته
أمه
“Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian puasa
Ramadhan dan aku mensunnahkan qiyam di malam harinya, maka barangsiapa yang
berpuasa dan melakukan qiyam karena mengharap ridha dari Allah maka keluarlah
dosanya (suci) sebagaimana seperti saat ia baru dilahirkan dari kandungan
ibunya”.
Begitu pun ada rasa senang dan gembira karena janji, rahmat,
keberkahan, pahala yang berlimpah yang telah disediakan oleh Allah bagi yang
berhasil menunaikan ibadah pada bulan Ramadhan, tentunya kita bisa membayangkan
dalam diri kita masing-masing saat kita menunaikan ibadah Ramadhan; baik
puasanya, qiyamnya, tilawahnya, sedekahnya, dan lain sebagainya.
Adapun kebahagiaan yang paling
berharga adalah saat kita berjumpa nanti dengan Allah oleh karena puasa yang
telah kita jalankan selama 1 bulan penuh. Fa marhaban yang syahru syiyam,
syahru rahmah wal maghfirah, syahru A-Quran wa syahru ni’mah wal barakah.
Namun pada sisi lain kita juga merasa sedih atas berlalunya
bulan Ramadhan; sedih karena dengan berlalunya bulan Ramadhan berarti kita akan
kembali kepada kehidupan yang biasa, dan kita tidak mengetahui apakah kita akan
bersua kembali dengan bulan Ramadhan pada tahun mendatang.
Sedih karena kita khawatir apakah segala amal ibadah kita
pada bulan Ramadhan tersebut dapat diterima oleh Allah SWT sehingga kita
menjadi orang yang di cap oleh Allah dengan orang yang merugi dan celaka sebagaimana
yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw :
فإن الشقي من
حرم عليه رحمة الله فيه
“Maka sungguh celaka bagi orang yang diharamkan rahmat Allah
di dalam bulan Ramadhan”
Na’udzubillah min dzalik, kita berharap dan memohon kepada
yang Maha Kuasa, semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, dilimpahkan
rahmat dan karunia-Nya serta di masukkan ke dalam hamba yang mendapatkan
janji-Nya, yaitu surga. Digiring oleh Allah pada golongan hamba-hamba yang
masuk ke dalam surge oleh karena puasa dan ibadah kita.
وَسِيقَ
الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا
وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ
فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ.وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ
وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ
أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan dibawa ke dalam
surga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang
pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga
ini, sedang kamu kekal di dalamnya. Dan mereka mengucapkan: “Segala puji bagi
Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada Kami
tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana
saja yang Kami kehendaki; Maka surga Itulah Sebaik-baik Balasan bagi
orang-orang yang beramal”. (Az-Zumar:73-74)
Dan juga kita berharap semoga
Allah berkenan mempertemukan kita kembali dengan bulan Ramadhan di masa
mendatang. Amin ya rabbal alamin.
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Bulan Ramadhan selain memiliki keutamaan dan
keistimewaan adalah merupakan sarana pendidikan dan pembinaan yang luhur dan
komprehensif, baik untuk pembinaan ruhiyah (spiritual), jasadiyah (jasmani), ijtima’iyah
(sosial), khuluqiyah (akhlaq) dan hadloriyah (peradaban) serta jihadiyah pada
diri umat Islam. Ibaratnya sebuah lembaga pendidikan, para siswa digembleng,
dididik dan dibina dengan begitu ketatnya, sehingga kelak setelah lulus dari
lembaga tersebut menjadi pelajar yang berprestasi dan unggul serta berdaya
guna. Mereka di didik dengan materi yang baik, ditempa dengan pembinaan yang maksimal
dan kurikulum yang jelas. Kelak mereka menjadi sosok yang bukan saja memberikan
maslahat untuk dirinya namun juga bermanfaat untuk keluarga, lingkungan dan
negaranya.
Begitu pun dengan Ramadhan yang telah kita jalani, merupakan
sarana pendidikan rabbani, kurikulumnya adalah kurikulum ilahi, dan manhajnya
adalah manhaj rabbani yang bersumber dari sang pemilik dan pengatur jagad raya
alam semesta dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya, sehingga –diharapkan-
setelah keluar dari madrasah Ramadhan lahir sosok pribadi muslim yang mumpuni,
memiliki syakhshiyah islamiyah mutakamilah mutawazinah (sosok pribadi Islami
yang komprehensif dan seimbang) tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan
bugar, dan berakhlaq mulia, namun juga memberikan pelajaran dan pendidikan
sosial dan berperadaban, serta tidak hanya memberikan kebaikan kepada dirinya
sendiri namun juga memberikan kebaikan dan perbaikan kepada lingkungan dan
masyarakat sekitar.
Bahwa untuk mencapai tingkat kualitas yang mulia
(At-taqwa) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun ia butuh proses
yang harus ditempuh oleh setiap mukmin, selain harus melandasi dengan keimanan,
namun juga menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan
mulia.
Begitulah ketika Allah
menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya;
landasannya iman, prosesnya ibadah puasa dan hasilnya taqwa
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Kalaulah kita mau menelaah
lebih dalam maka akan didapati dalam bulan Ramadhan pelajaran yang begitu
penting dan hikmah yang banyak, sehingga ketika seseorang memahaminya maka
boleh jadi mereka berharap agar bulan-bulan lainnya dalam satu tahun dijadikan
bulan Ramadhan, begitulah yang pernah disinyalir oleh Rasulullah saw :
لو
يعلم الناس ما في رمضان لتمنوا أن يكون الدهر رمضان
“Sekiranya manusia mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada
dalam bulan Ramadhan maka pasti mereka akan berharap satu tahun penuh dijadikan
Ramadhan seluruhnya”.
Adapun inti dari pendidikan dalam bulan Ramadhan adalah
sebagai berikut :
1. Puasa merupakan madrasah ruhiyah (pembinaan
spiritual)
Puasa berfungsi sebagai sarana tazkiyatunnafs (pembersihan
jiwa), dimana orang yang berpuasa selain menjaga dirinya untuk tidak makan dan
minum, juga di tuntut untuk mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
melatih diri untuk menyempurnakan ibadahnya kepada Allah walau dalam keadaan
lapar, bersikap jujur, menjaga dari ucapan yang kotor dan keji, sifat dengki
dan hasad. Dimana dalam puasa juga ada hikmah yang memenangkan ruh ilahi atas
materiil dan akal atas nafsu angkara murka.
2. Puasa merupakan madrasah jasadiyah (pembinaan
jasmani)
Ibadah puasa merupakan ibadah yang tidak hanya membutuhkan
pengendalian hawa nafsu tapi juga membutuhkan kekuatan fisik. Dan puasa juga
dari segi kesehatan akan membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan,
membersihkan tubuh dari sisa-sisa endapan makanan, mengurangi kegemukan dan
menenangkan kejiwaan atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.
3. Puasa merupakan madrasah ijtima’iyah (pembinaan
sosial)
Puasa juga dapat membiasakan umat untuk hidup dalam
kebersamaan, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, melahirkan kasih sayang
kepada orang-orang miskin, sehingga orang-orang yang mampu dan kaya merasakan
apa yang di derita oleh orang-orang fakir dan miskin. Sebagaimana yang
dikatakan oleh ibnul Qayyim : “Puasa dapat mengingatkan orang-orang kaya akan
penderitaan yang dirasakan oleh orang-orang miskin”. Sehingga dari sinilah di
harapkan timbul rasa persaudaraan dan solidaritas.
Sebagaimana dalam berpuasa juga ditanamkan sifat tenggang
rasa dan solidaritas dalam kehidupan yang memiliki keragaman etnis, warna kulit
dan ras, apalagi sesama muslim yang memiliki keragaman mazhab, kelompok dan
golongan yang berasal dari keragaman pemahaman dalam mengambil intisari dari
ajaran Islam. Perbedaan kelompok, mazhab dan golongan adalah merupakan hal yang
lumrah, namun yang patut kita sadari bahwa dengan adanya perbedaan tersebut
kita (umat Islam) tidak boleh terpecah belah dan tidak bersatu, namun hendaknya
bisa dijadikan sarana untuk memupuk persaudaraan, dan membangun bangunan Islam
agar lebih kokoh lagi, sehingga dengannya tidak akan terjadi saling
gontok-gontokkan, mencela, menuding dan menghina karena hanya permasalahan
sepele dan furu’ saja.
Allah SWT berfirman :
إنما
المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman saling bersaudara,
maka damaikanlah antara saudara kalian (jika berselisih).
واعتصموا
بحبل الله جميعا ولا تفرقوا
“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan jangan
bercerai-berai”
Islam mengharuskan adanya kesatuan pemahaman dalam
masalah-masalah dasar aqidah, dasar ibadah dan dasar muamalah; sementara Islam
mentolerir multi pemikiran dalam masalah-masalah cabang aqidah, cabang ibadah
dan cabang muamalah. Kedua sisi ini bagaikan 2 sisi dari 1 mata uang yang tidak
terpisahkan satu sama lain, tidaklah orang yang berusaha membebaskan semuanya
ataupun menyatukan semuanya kecuali ia akan menyimpang dan terlepas dari jalan
yang benar…
4. Puasa merupakan madrasah
khuluqiyah (pembinaan akhlaq)
Puasa juga mendidik manusia untuk
memiliki akhlaq yang mulia dan terpuji, sabar dan jujur serta tegar terhadap
segala ujian dan cobaan, hal ini terlihat dari arahan Rasulullah Saw. dalam
meriwayatkan Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT. berfirman: “Orang yang berpuasa
wajib meninggalkan akhlaq yang buruk. Segala tingkah lakunya haruslah merupakan
cerminan dari budi yang luhur. Ia wajib menjaga diri, jangan sampai melakukan
ghibah (mempergunjingkan diri orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang
tiada berguna, sehingga Allah berkenan menerima puasanya”.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a.: “Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah
ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka
katakanlah: “Aku ini sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan:
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan
dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan
dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Dalam kehidupan ini, kita pasti akan berhadapan dengan
berbagai rintangan, ujian dan cobaan, sehingga Allah akan melihat sampai dimana
ketegaran kita dalam menghadapi berbagai rintangan, ujian dan cobaan tersebut.
Paling tidak ada 4 tujuan Allah memberikan kita berbagai
cobaan dan ujian hidup;
1. Ujian Iman; siapakah yang tegar imannya dan
siapakah yang hanya pura-pura dan palsu. Allah berfirman:
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ .
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-Ankabut:2-3)
2. Ujian Mental;
siapakah yang tawadhu dan angkuh terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:
مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلَا
تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا
يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri”. (Al-Hadidi:22-23)
3. Ujian Fisik;
siapakah yang bersungguh-sungguh dan lemah dalam meraih nikmat Allah. Allah
berfirman:
وَتِلْكَ
الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ
آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zhalim”. (Ali Imran: 140)
4. Ujian Sikap;
siapakah yang optimis dan pesimis terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ .
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah
memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya Maka Dia
berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al-Fajr:15-16)
Dan puasa adalah sebagai perisai yang mampu membentengi diri
untuk bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan hidup, dan alhamdulillah
sekalipun terik matahari, panas yang menyengat, sehingga rasa haus yang
menyekat tenggorokan kita mampu melewatinya, dan tentunya hal tersebut tidak
bisa dianggap ringan, butuh usaha dan kesungguhan serta keimanan.
5. Puasa merupakan madrasah jihadiyah
Puasa juga merupakan sarana dalam menumbuhkan semangat jihad
dalam diri umat, terutama jihad dalam memerangi musuh yang ada dalam jiwa
setiap muslim; mengikis hawa nafsu, dan berusaha menghilangkan dominasi jiwa
yang selalu membawanya kepada perbuatan yang menyimpang. Allah berfirman:
وَمَا
أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ
رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang”. (Yusuf:53)
Sebagaimana puasa juga menumbuhkan semangat jihad yang
nyata, karenanya peperangan yang terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya kebanyakan di bulan puasa, dan justru dengan berpuasa mereka dapat
lebih semangat dalam berjihad, karena dengan puasa hati terasa lebih dekat
kepada Allah SWT dibanding hari-hari dan bulan-bulan yang lain, walaupun pada
dasarnya Rasulullah saw dan sahabatnya tidak pernah merasa jauh dari Allah SWT.
Dan bukan karena berpuasa orang lalu boleh bermalas-malasan atau tidur-tiduran.
Namun yang lebih utama adalah kegiatan dan aktivitas orang yang berpuasa tidak
kendor dan berkurang karena alasan sedang berpuasa, namun sebaliknya harus
lebih ditingkatkan lagi, karena ganjaran orang yang melakukan kebaikan saat
puasa Ramadhan bahwa pahalanya akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat oleh
Allah. Karena itu Allah SWT berfirman :
والذين
جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dijalan kami maka Kami
akan tunjukkan jalan-jalan Kami (jalan yang lurus)” (QS. 29 ayat 69)
6. Puasa merupakan madrasah hadlariyah (pendidikan peradaban)
Puasa juga sebagai wahana peradaban yang dapat memajukan
kehidupan manusia yaitu bahwa puasa mendidik manusia untuk bersikap disiplin
dengan waktu, seperti waktu sahur dan berbuka, saat waktunya telah habis untuk
sahur maka wajib bagi yang akan berpuasa untuk menahan diri dari makan dan
minum walaupun di hadapannya tersedia hidangan yang lezat.
Sebagaimana pula bulan Ramadhan mengajarkan untuk menjaga
kesatuan umat Kesatuan umat merupakan kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi
perlu dipahami, kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan yang dikemas dalam
bingkai Islam. Jika tidak, peluang musuh-musuh Islam kian besar
mencerai-beraikan ummat melalui propaganda-propaganda mereka. Ada beberapa
factor yang menjadi unsure pemersatu menuju terwujudnya kesatuan ummat.
Kesatuan aqidah (wihdatul Aqidah)
Kesatuan atas dasar aqidah, inilah factor utama yang tak
boleh diabaikan. Hanya atas dasar aqidah Islam yang benar, tanpa kesyirikan,
ummat ini terikat atau disatukan dalam buhul tali yang tidak akan putus oleh
badai apapun. Allah telah menyuratkan hal ini dalam Al-Quran : “..Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 256)
Kesatuan ibadah (Wihdatul Ibadah)
Kesatuan ibadah, yang hanya mengabdi kepada Allah, menjadi
sangat penting sebagai cerminan dari kesatuan aqidah islamiyah. Kesatuan ibadah
juga sangat mendesak segera terwujud, karena ia hanya mencerminkan seberapa
besar penyerahan diri kita pada ketentuan-ketentuan Allah. Factor pengabdian
yang benar dan Ikhlas inilah yang akan mengantarkan ummat menuju kejayaan dunia
dan keselamatan akhirat. Islam adalah din yang lurus, yang tidak diperintahkan
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
menjalankan agama yang lurus (Al-bayyinah : 5)
Kesatuan perilaku
Banyak disebutkan dalam al-Quran bahwa ummat Islam adalah
ummat terbaik (Khairu ummah). Hal ini dikarenakan ketinggian akhlaq ummat
Islam, sebagai cerminan kemuliaan aqidah islamiyah. Kualitas keislaman
seseorang bias dilihat antara lain dari akhlaq dan kebiasaan sehari-hari. Dalam
hal ini, ummat Islam sebagai ummat terbaik telah dituntun oleh Allah supaya
berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. Beliaulah manusia pilihan Allah sebagai
teladan bagi seluruh ummat Islam seluruhnya dalam kerangka semangat beruswah
hanya kepada Rasulullah saw (Al-Ahzab : 21)
Kesamaan akhlaq, akan memperkokoh persatuan ummat. Secara
fitrah, setiap manusia cenderung menyatu dengan individu lainnya yang memiliki
kesamaan perilaku sehari-hari.
Adapun akhir dan puncak hikmah yang dapat di raih oleh orang
yang melakukan puasa adalah mencapai derajat dan maqam taqwa di sisi Allah SWT,
sebagaimana yang telah difirmankan Allah di penutup perintah-Nya kepada kaum
beriman untuk berpuasa, “agar kamu bertaqwa”, karena dengan puasa kesehatan
qalb (hati) dan jasad (jasmani) terjaga, sehingga tidak heran kalau syekh Yusuf
Al-Qaradhawi menjadikan puasa itu sebagai madrasah mutamayyizah (lembaga pendidikan
favorit) yang dibuka oleh Islam untuk menerima pendaftaran baru ; berkadar
kurikulum Ilahi. Oleh karena itu, siapa saja yang mendaftarkan dirinya ke
madrasah mutamyyizah ini, yaitu berpuasa dengan baik sebagaimana yang telah di
gariskan Allah, kemudian mengamalkan sunnah-sunnah sebagaimana yang di
syariatkan oleh Rasulullah SAW, maka dia telah sukses dalam menempuh ujian dan
meraih tingkat dan level yang tinggi dan mulia di sisi Allah yaitu Taqwa.
Dimana taqwa dalam kehidupan kaum muslimin merupakan benteng utama, bekal yang
paling baik yang diperlukan oleh setiap manusia agar dapat hidup bahagia di
dunia dan di akhirat, seperti yang dipesankan oleh Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah (2) ayat 197 : “Dan berbekallah kalian karena sebaik-baik bekal adalah
taqwa”. Dan sebagaimana yang dipesankan oleh Rasulullah saw kepada seseorang : “Bertaqwalah
kepada Allah di manapun kamu berada”. Dan taqwa dapat mengatasi segala problema
dan urusan hidup di dunia (At-Tholak (65) : 2) dan memudahkan rezki (At-Tholak
(65) : 2&4) dan amal ibadah kita diterima oleh Allah (Al-Maidah (5) : 27),
juga sebagai tameng dan sarana diampuninya dosa-dosa (Al-Anfal (8) : 27) serta
Allah akan memasukkan ke surga yang penuh kenikmatan (At-Thur (52) :17)
Semoga Idul Fitri tahun ini benar-benar membawa perubahan
pada diri kita, kehidupan rumah tangga kita, masyarakat kita, pemerintahan
kita, sehingga benar-benar menjadi bangsa yang “Baldatun Thoyibatun wa Robbun
Ghofur”, bangsa yang makmur dan sejahtera pada semua lapisan masyarakatnya
-bukan saja para pemimpin dan kaum elitnya saja- dan bangsa yang selalu
mendapatkan lindungan, naungan, bimbingan dan ampunan Allah SWT. []
Khutbah Idul Fitri 1429 H: Ramadhan, untuk Esok yang Lebih
Cerah
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللهُ أكْبَرُ،
اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الله أكْبَرُ، الله
أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ، الله أكْبَرُكَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ
وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ،
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله الله أكْبَرُ، الله
أكْبَرُ وَلله الْحَمْدُ.
الْحَمْدُ للهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ
عَلَى الظَّالِمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِ الأنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أجْمَعِيْنَ.
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah yang Maha Besar. Allah Maha Besar
dan segala puji hanya milik Allah. Allah Maha Besar sebesar-besarnya, segela
puji bagi-Nya sebanyak-banyaknya, Maha Suci Allah dari pagi hingga petang hari.
Tiada tuhan selain Allah, sendiri. Yang benar janji-Nya, yang memberi
kemenangan kepada hamba-Nya, yang memuliakan prajurit-Nya sendirian. Tiada
tuhan selain Allah, dan kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah,
mengikhlaskan agama hanya kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir membenci.
Tiada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar, bagi Allah-lah segala puji.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Pada pagi hari ini kita menyaksikan ratusan juta manusia
mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid. Semilyar mulut menggumamkan
kebesaran, kesucian, dan pujian untuk Allah Subahanhu wa Ta’ala, sekian banyak
pasang mata tertunduk di hadapan kemaha-besaran Allah Azza wa Jalla, sekian
banyak hati diharu-biru oleh kecamuk rasa bangga, haru, bahagia dalam merayakan
hari kemenangan besar ini. Sebuah kemenangan dalam pertempuran panjang dan
melelahkan, bukan melawan musuh di medan laga, bukan melawan pasukan dalam
pertempuran bersenjata. Namun, pertempuran melawan musuh-musuh yang ada di
dalam diri kita, nafsu dan syahwat serta syetan yang cenderung ingin
menjerumuskan kita. Ibnu Sirin berkata tentang sulitnya mengendalikan jiwa,
“Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa.”
Hasan Bashari berkata, “Binatang binal tidak lebih membutuhkan tali kekang
ketimbang jiwamu.”
Kemenangan melawan hawa nafsu ini adalah inti kemenangan,
inilah kemenangan terbesar, kemenangan utama yang akan melahirkan
kemenangan-kemenangan lain dalam semua kancah kehidupan dunia yang kita arungi.
Kita membutuhkan kemenangan seperti ini untuk memenangkan semua pertarungan
yang kita hadapi dalam hidup ini. Betapa banyak perangkat-perangkat meteri
kemenangan dikuasai oleh seseorang, kelompok, dan bangsa. Namun ternyata mereka
harus menelan kekalahan dengan sederet perangkat materi itu. Mereka memiliki
ilmu dan teknologi, senjata, perlengkapan, dan sarana lainnya, namun itu semua
tidak berdaya di hadapan seseorang, kelompok, atau bangsa yang memiliki ketangguhan
jiwa, kekuatan mental, dan kematangan pribadi.
كَمْ
مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil-hamdu…
Selama sebulan penuh kita berada dalam bulan suci, bulan
penuh keberkahan dan nilai. Bulan yang mengantarkan kita kepada suasana batin
yang sangat indah. Bulan yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan bagi kita
kaum Muslimin. Bulan Ramadhan melatih kita untuk memberi perhatian kepada
waktu, di mana banyak manusia yang tidak bisa menghargai dan memanfaatkan
waktunya. Ramadhan melatih kita untuk selalu rindu kepada waktu-waktu shalat,
yang barangkali di luar Ramadhan kita sering mengabaikan waktu-waktu shalat.
Adzan berkumandang di samping kanan kiri telinga kita, namun kita tetap dengan
segala kesibukan kita, tak tergerak bibir kita untuk menjawabnya apa lagi untuk
memenuhi panggilan itu…
Dan kita membiarkan suara Muadzin itu memantul di tembok
rumah dan kantor kita, lalu pergi bersama angin lalu.
Sedangkan pada bulan Ramadhan ini kita selalu menunggu suara
adzan, minimal adzan Maghrib, kita tempel di rumah kita bahkan kita hapal
jadwal Imsakiyyah…
Mudah-mudahan selepas Ramadhan ini rasa rindu kepada waktu
shalat selalu kita pelihara. Waktu adalah kehidupan. Barangsiapa menyia-nyiakan
waktunya berarti ia menyiakan-nyiakan hidupnya.
Ada survei tahun 1980 bahwa Jepang adalah negara pertama
yang paling produktif dan evektif dalam menggunakan waktu, disusul Amerika dan
Israel. Subhanallah, ternyata negara-negara itu kini menguasai dunia. Sebagai
seorang muslim, mestinya kita menjadi orang yang paling disiplin dengan waktu
kita. Al-Qur’an yang kita baca di bulan Ramadhan mengisyaratkan pentingnya
waktu bagi kehidupan. Bahkan pada banyak ayat Allah bersumpah dengan waktu.
Maka jika kita ingin menjadi
manusia yang terhormat di antara manusia lain dan bermartabat di sisi Allah,
hendaknya kita isi waktu kita dengan hal-hal yang produktif, baik untuk
kepentingan dunia atau akhirat kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahil-hamdu…
Ramadhan juga melatih kita untuk memakmurkan tempat-tempat
ibadah; masjid, mushalla, dan surau. Gegap gempita kita mendatangi rumah-rumah
Allah ini, kita kerahkan anak istri kita untuk meramaikan tempat suci ini.
Hingga ketika menyaksikan pemandangan indah ini seseorang sempat berkhayal,
“Andai Ramadhan datang dua belas kali setahun.” Begitu indah pemandangan ini,
suara pujian dan doa bersahut-sahutan dari pengeras suara di antara
masjid-masjid. Alam serasa hanyut dalam tasbih dan istighfar.
Suasana ini perlu kita pertahankan selepas Ramadhan ini,
kita perlu mengerahkan keluarga kita untuk memakmurkan masjid-masjid Allah.
Sehingga kita layak mendapatkan janji Allah, bahwa,
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ الله فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ….. وَرَجُلٌ قَلْبُهُ
مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ
“Ada tujuh golongan manusia yang dinaungi Allah dalam
naungan-Nya di hari dimana tidak ada naungan selian naungan Allah….dan
seseorang yang hatinya terikat dengan masjid.”
Ramadhan juga melatih kita untuk lebih mementingkan ketaatan
kepada Allah dengan mengorbankan tenaga dan kepentingan kita, saat-saat kita
masih lelah bekerja seharian, setelah sepanjang siang kita bertahan dengan rasa
lapar dan dahaga, saat kita mestinya beristirahat dari kepenatan, namun, justru
kita ruku’ dan sujud dalam shalat tarawih atau qiyamu Ramadhan dengan satu
harapan, mudah-mudahan kita mendapatkan keridhaan Allah, itulah satu-satunya
yang paling berharga dalam hidup kita selaku Muslim.
Semangat ini juga mestinya kita jaga setelah Ramadhan, kita
perlu mempersembahkan apa yang kita miliki ini untuk meraih keridhaan Allah.
Sejatinya, apa yang kita miliki saat ini hanya amanah dari Allah Ta’ala, apakah
kita dapat menunaikannya atau tidak. Hendaknya keridhaan Allah itu menjadi
tujuan kita, tidak ada desah nafas, mulut bergerak, tangan berayun, dan kaki
melangkah kecuali kita harus mengirinya dengan satu pertanyaan, “Apakah dengan
apa yang saya ucapkan dan saya lakukan ini saya akan mendapatkan ridha Allah.”
Hingga dengan demikian serasilah apa yang sering kita ikrarkan,
إِنَّ
صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Ramadhan juga melatih kita untuk mempunyai rasa solidaritas
sesama manusia, dengan rasa lapar dan dahaga kita teringat akan nasib sebagian
dari saudara-saudara kita yang kurang beruntung di dalam hidup ini, mereka
setiap harinya dirongrong rasa lapar dan dahaga. Apalagi, rasa kemanusiaan
semacam ini nyaris mulai sirna dewasa ini. Saat budaya hedonisme mulai
menjangkiti manusia modern, dimana mereka hanya disibukkan oleh urusan pribadi,
nafsi-nafsi, urusanku urusanku sendiri, silahkan urus urusanmu sendiri. Hal ini
diakibatkan karena orientasi hidup manusia modern yang hanya memandang materi
sebagai satu-satunya tujuan. Bahkan, terkadang untuk memenuhi ambisi
kebendaannya seseorang rela menghalalkan segala cara.
Solidaritas semacam ini perlu kita pelihara dan kita
aplikasikan dalam hubungan dengan sesama manusia dengan melakukan shiyam-shiyam
sunnah, di mana Islam telah mensyariatkannya. Manusia modern perlu melakukan
puasa untuk melatih kepekaan sosialnya, para pejabat perlu melakukan puasa
sunnah untuk merasakan derita yang dialami sebagian besar bangsa ini. Sehingga,
muncullah kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin. Atau,
minimal dapat menurunkan gaya hidup kelas tinggi mereka di tengah bangsa yang
menangis ini.
Kita menyambut adanya itikad baik dari pemimpin negeri ini
untuk membudayakan hidup sederhana. Alangkah indahnya jika ajakan hidup
sederhana ini diterapkan oleh semua pihak, terutama para pejabat, menteri,
anggota dewan, dirjen-dirjen dan lain sebagainya. Ini akan menggurangi anggaran
negara dan dapat dialokasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Bangsa ini masih terpuruk, rakyat masih menderita.
Kemiskinan menjadi pemandangan utama di setiap sudut kota dan pelosok desa.
Tidaklah pantas memamerkan kemewahan di hadapan mereka. Apalagi menggunakan
fasilitas negara.
Zuhud, adalah sikap yang diajarkan Islam kepada kita dalam
hidup ini. Az-Zuhri ditanya tentang makna zuhud dan dia menjawab, “Zuhud
bukanlah pakaian yang kumal dan badan yang dekil. Zuhud adalah memalingkan diri
dari syahwat dunia.” Orang mukmin boleh kaya dan berjaya, namun yang ada di
hatinya hanyalah Allah semata. “Letakkan harta di tanganmu dan jangan letakkan
di hatimu.” Demikian nasihat ulama.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Sungguh banyak pelatihan yang diberikan oleh Diklat Ramadhan
kepada kita, itulah barangkali di antara hikmah disyariatkannya shiyam selama
sebulan agar sebelas bulan sisanya kita lalu dengan menerapkan nilai-nilai
Ramadhan. Agar suasana spiritual yang dilatih selama sebulan ini menjadi energi
kita dalam mengarungi sebelas bulan berikutnya. Agar predikat takwa itu
benar-benar terjaga dalam diri kita. Sebab ketakwaan itulah bekal hidup dan
modal kita untuk menghadapi pengadilan Allah Azza wa Jalla.
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
“Dan berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya sebaik-baik
kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Demikianlah Ramadhan telah memberikan banyak perubahan dalam
diri kita. Mulai dari sikap, perilaku, dan paradigma dalam memandang hidup dan
kehidupan ini. Mestinya ini semua menjadi bekal kita untuk melakukan
perubahan-perubahan di masa depan, perubahan yang mengantarkan hidup kita ke
arah yang lebih baik. Sebagai pribadi maupun bangsa.
Sungguh kehidupan yang kita lalui masih sulit, beban yang
kita pikul semakin berat. Baik sebagai pribadi atau sebagai bangsa, kita
sekarang belum juga bisa berkelit dari krisis multi dimensi yang cukup pelik.
Pekerjaan kian sulit dicari, harga-harga masih membumbung tinggi, angka
pengangguran masih tinggi, bencana alam, kejahatan meraja-lela. Demi sesuap
nasi, nilai-nilai yang semestinya dijunjung dan dijaga tidak diindahkan lagi.
Bahkan, nyawa yang begitu mahal dan berharga oleh semua agama dan ideologi,
kini menjadi taruhan yang sangat murah. Dari layar TV dan media cetak kita
sering menyaksikan peristiwa pembunuhan yang sungguh mendirikan bulu kuduk
kita; seorang anak membantai ayahnya, suami mencincang istrinya, tetangga
menghabisi tetangganya, saudara menggorok saudaranya, yang rata-rata motifnya
sama, ekonomi.
Tidak ada bekal terbaik untuk
menghadapi kondisi sulit ini selain ketakwaan. Barangkali semua orang sepakat
bahwa kita semua harus bangkit untuk mengatasi semua kesulitan yang melanda
kita dan bangsa kita dewasa ini. Untuk itu di hari yang fitri ini, di tengah
kita merayakan kemenangan besar ini. Di mana kita baru saja selesai melakukan
pelatihan selama sebulan penuh, di mana nuansa kesucian tengah kita rasakan
saat ini, sehingga pikiran dan hati kita tengah mengalami pencerahan karena
nilai-nilai ketakwaan. Marilah kita menatap hari esok dengan semangat berubah
ke arah yang lebih baik dan penuh optimisme, dan memang seorang Mukmin, seorang
Muttaqi, seorang yang bertakwa pantang kehilangan asa dalam kondisi apapun.
Optimisme adalah harga mati jika kita ingin bangkit mengatasi berbagai
kesulitan ini.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahil-hamdu…
Ada beberapa variabel untuk membangun optimisme dalam diri
kita.
Pertama, Husnudzan kepada Allah.
Husnudzan atau berprasangka baik kepada Allah ini harus kita
kokohkan dalam diri kita. Kita sepakat bahwa tidak ada satu peristiwa yang
terjadi selain dengan izin dan kehendak Allah, termasuk ujian dan kesulitan
yang tengah kita hadapi. Dan seorang Mukmin selalu menghadapi semua ketentuan
Allah itu dengan prasangka baik. Ia mempunyai prinsip bahwa apa yang
menimpanya, itulah yang terbaik baginya menurut Allah. Oleh karena itu ia tidak
menggerutu kepada Penciptanya, ia tidak memberontak karena keputusan Tuhannya,
dan ia selalu menatap semua ujian itu dengan senyum. Ia yakin akan mendapatkan
dua keuntungan dari ujian itu:
1. Diangkat dan dihapuskannya
kesalahan dan dosa-dosanya
2. Dan tinggikan derajatnya di
sisi Allah Azza wa Jalla
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ صَبَرَ فَلَهُ
الصَّبْرُ وَمَنْ جَزِعَ فَلَهُ الْجَزَعُ
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji
mereka. Barangsiapa bersabar ia mendapat (pahala) kesabarannya, dan barangsiapa
gundah gulana, ia (tersiksa) karena kegundahannya.”
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ
إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan urusan seorang Mukmin, semua urusannya
berakibat baik baginya, dan itu tidak terjadi kepada selain orang-orang Mukmin,
jika mendapatkan kebaikan ia bersyukur dan itu baik baginya. Dan jika mendapat
bencana ia bersabar dan itu baik pula baginya.” (Muslim)
Husnudzan harus kita pelihara dalam diri kita. Allah tidak
menghendaki dari hamba-Nya selain kebaikan, kalau tidak di dunia, di akhirat.
Jangan sampai kita celaka di dunia dan di akhirat akibat prasangka buruk kita
kepada Allah. Na’udzu billah, tsumma na’udzu billah.
Kedua, Tidak putus berdoa.
Doa merupakan senjata orang beriman, berdoa merupakan ibadah
dan enggan berdoa merupakan kesombongan kepada Allah Azza wa Jalla.
Sebagai bangsa, kita ini mestinya sudah hancur berantakan,
mestinya negara yang bernama Indonesia ini gulung tikar. Krisis ekonami yang
berkepanjangan, krisis kepercayaan, moral, bom meledak di mana-mana,
pemerintahan yang lemah, tekanan bahkan konspirasi untuk menghancurkan bangsa
kita begitu kuat. Pertikaian dan peemusuhan antar suku, entis, dan antar agama,
pertumbuhan ekonomi yang kian memburuk, hutang negara yang kian membumbung
tinggi. Mestinya, semua itu cukup membuat kita, sebagai bangsa ambruk terkapar…
akan tetapi kenyataannya tidak, apapun keadaannya, kita masih bisa berdiri
tegak. Barangkali pihak-pihak yang menginginkan kehancuran negeri ini tak habis
pikir, mengapa hingga saat ini kita masih bisa bertahan. Kita yakin
seyakin-yakinya, itulah berkat doa yang dipanjatkan setiap muslim di negeri
ini, bahkan di seluruh dunia, itu semua berkat ratusan juta pasang tangan yang
selalu ditengadahkan ke langit, memohon kepada yang Maha Kuat dan Maha Perkasa,
agar negeri ini dijauhkan dari kehancuran…
Ketiga, meneladani para nabi dan rasul.
Mereka adalah kekasih-kekasih Allah dan itu kita sepakat.
Namun ujian Allah timpakan kepada mereka begitu dahsyat dan tak terperikan.
Bahkan di antara mereka ada yang mendapatkan gelar Uluz Azmi karena
keberhasilan mereka dalam mengarungi ujian berat. Dan mereka tidak pernah
berputus asa kepada Allah Ta’ala.
Adalah nabiyullah Zakaria yang selalu merindukan anak, namun
hingga di usianya yang mulai senja, si buah hati yang diidamkannya belum
kunjung datang. Akan tetapi hal itu tidak membuatnya berputus asa dan
kehilangan optimisme. Dengarkanlah Al-Quran menuturkan,
ذِكْرُ
رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً
خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ
شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ
مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ
وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan
kamu kepada hamba-Nya, Zakariya, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya
dengan suara yang lembut. Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah
lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap
mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka
anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan
mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang
yang diridhai”.(Maryam: 2-6)
Orang yang sudah tua renta, istrinya mandul…lalu
mengharapkan mempunyai anak? Rasanya mustahil itu terjadi, rasanya harapannya
akan tinggal harapan. Akan tetapi kekasih Allah tidak menyandarkan harapannya
kepada sebab-sebab manusiawi, karena sebab-sebab itu merupakan kehendak Allah,
Allah mampu menciptakan dari yang tiada menjadi ada. Apalagi dari yang sudah
ada, walau usia renta dan istri mandul. Akhirnya Allah mendengar doanya dan
melihat ketegarannya.
يَازَكَرِيَّا
إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ
سَمِيًّا
“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira
kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami
belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (Maryam: 7).
Itu pula yang dialami Ibrahim, Khalilullah.
Tidak ada yang mustahil bagi Allah, jika kita tetap berusaha
dan berdoa.
Pada perang Khandaq, saat sepuluh ribu pasukan sekutu yang
terdiri dari suku Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya mengepung Madinah.
Sementara Rasulullah hanya didukung dua ribu pasukan dengan parit yang
mengelilingi sebagian sisi kota. Sementara itu orang-orang Yahudi Quraidzah
yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk melindungi wilayah
perbatasan kota Madinah, ternyata mereka membatalkan perjanjian dan bergabung
dengan pasukan sekutu. Dan dengarlah sikap Rasulullah menghadapi kondisi
genting ini,
اَللهُ
أَكْبَرُ، أَبْشِرُوْا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ بِفَتْحِ اللهِ وَنَصْرِهِ…
“Allahu Akbar, bergembiralah wahai sekalian kaum Muslimin
dengan kemenangan dari Allah dan pertolongan-Nya.”
Dan ternyata Allah memperhatikan optimisme hamba
terbaik-Nya, dua ribu pasukan Muslim dapat mengalahkan sepuluh ribu pasukan
sekutu plus orang-orang Yahudi Bani Quraidzah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Keempat, beramal dan bertawakkal.
Sebab Allah tidak menurunkan emas dari langit. Singsingkan
lengan baju. Kita gunakan seluruh potensi yang Allah karuniakan kepada kita
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ
إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kalian, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kalian
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kamu kerjakan”.
(At-Taubah:105).
Sebab tidak ada yang mengubah kita selain kita sendiri…
لَهُ
مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ(11)
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Radu: 11)
Akhirnya, dengan jiwa yang suci bersih bak seorang bayi yang
baru lahir. Marilah kita tundukkan hati kita kepada kebesaran Allah, menengadah,
mengharap akan karunia dan rahmat-Nya, untuk kita keluarga kita, kaum Muslimin,
dan bangsa kita.
اَلْحَمْدُ
للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِيءُ مَزِيْدَهُ يَا
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ
سُلْطَانِكَ.
ألَّلهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ
الدَّعَوَاتِ.
اللَّهُمَّ
اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ
وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهَا جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا
تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا
وَأبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ
ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَاناَ وَلاَ تَجْعَلِ
مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ
مَبْلَغِ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
اللَّهُمَّ
أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأمُوُرِ كُلِّهَا وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا
وَعَذَابِ الأخِرَةِ
رَبَّنَا
آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
وَالْحَمْدُ
للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ