Translate

Saturday, November 24, 2012

Tujuan Pendidikan



BAB I
PEMBAHASAN MATERI
A.      Tujuan pendidikan
Tujuan dalam bahasa inggris dikenal dengan “purpose” yang berarti maksud, tujuan, dan kegunaan. Dalam bahasa arab tujuan itu “al-hadf”, seadan dengan kata “al-ghoyah, al-gard, dan al-qsad” yang berarti tujuan dan maksud. Tujuan adalah sasaran atau maksud yang hendak dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan sesuatu kegiatan. Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang hendak diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education).
Tujuan sebagai dunia kita, kalau sudah ditetapkan, tujuan menjadi ide yang statis, tetapi didalamnya mengandung kualitas tujuan yang dinamis dan nilai-nilainya berkembang. Terlebih tujuan pendidikan yang sarat akan nilai-nilai fundamental, seperti nilai social, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Dalam hal ini, orang berkeyakinan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup masa depan di dunia, serta membantu anak didik mempersiapkan kebutuhan esensial dalam menghadapi perubahan.
An-Nahlawi mengatakan, tujuan berbeda dengan hasil. An-Nahlawi mencontohkan, dalam kehidupan manusia yang balig, berakal, dan sadar, biasanya dia berpikir dan mengarah pada suatu tujuan tertentu yang hendak dicapainya dibalik perbuatannya. Contoh, pelajar yang giat belajar sepanjang tahun ajaran, menginginkan lulus ujian, mencapai sarjana, kemudian mencapai status social tertentu, atau memperoleh gaji yang menjadi sumber kehidupannya. Hasil yang dicapai oleh pelajar terseut mungkin sesuai dengan tujuan, mungkin tidak, mungkin pula hanya merealisasikan dari sebagian tujuan itu. Adapun hasilnya adalah apa yang dicapai manusia melalui tingkah laku, baik sesudah merealisasikn tujuan maupun belum. Adapun tujuan adalah sesuatu yang direncanakan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, demi merealisasikan dia menata tingkah lakunya.
Secara tidak langsung, tujuan sendiri memberi daya magnet dan penentu terhadap segala aktivitas manusia. sikap dan perilaku manusia itu akan sangat ditentukan oleh tujuannya. Sejumlah pakar manajemen mengatakan, melakukan strategi itu sangat urgen untuk membuktikan target dan tujuan, sedangkan target dan tujuan mesti ada untuk merumuskan langkah. Orang yang berbuat baik memiliki tujuan dengan kebaikannya, sedangkan orang yang jahat memiliki tujuan dengan kejahatannya. Begitupun halnya orang yang diam memiliki tujuan dengan diamnya. Namun, banyak manusia yang terkadang tidak sadar akan tujuannya, berikut tujuan hidupnya. Contoh, orang yang terkena sengatan api, tanpa piker panjang tangannya ditarik dari api itu. Padahal, dia tidak tahu (sadar) apa tujuan menarik tangannya dari panasnya api. Itulah namanya perassaan instingsif (nafsu) untuk hidup, jadi secara fitrah manusia itu ingin hidup memiliki tujuan hidup.
Tujuan itu bagaikan roh (spirit) dalam memengaruhi sikap dan perilaku kehidupan. Hidup akan lebih bermakna jika kita tahu dan sadar akan tujuan hidup kita. Begitupun halnya dengan dunia pendidikan. Pendidikan atau institusi pendidikan yang tanpa tujuan seperti tubuh yang tidak mengenal rohnya, pendidikan tanpa tujuan halnya sebatas merealisasikan “ritual pendidikan” tidak menyentuh pada asas dasar atau hakikat endidikan itu sendiri. Pendidikan yang tidak memiliki tujuan yan gjelas hanya akan menciptakan output pendidikan berupa manusia yang diliputi rasa pesimis, cemas, ragu, dan bergantung pada orang lain.
Tujuan pendidikan adalah sasaran atau targetan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Istilah-istilah yang digunakan dalam mendefinisikan tujuan pendidikan, berdasarkan pengamatan para pakar penddidikan di antaranya Aims, goals, dan objectives.
1.       Aims, yang berarti maksud, cita-cita, dan tujuan sejati (ultimate) dalam arti luas. Cita-cita atau impian merupakan hal yang sangat urgen untuk merumuskan tujuan pendidikan pada tingkat nasional ataupun kota/daerah, walaupun secara de facto tidak dapat dievaluasi, karena baru berupa ide-ide yang sifatnya perlu penjabaran operasional. Contoh dari bentuk aims ini seperti tujuan pendidikan yang tertera dalam UU RI No. 20 tahun 2003, yang berbunyi  “….bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.” Rumusan  ini terlalu luas dan umum, sehingga rumit untuk dievaluasi pada proses pencapaiannya. Rumusan tersebut tentunya perlu dijabarkan oleh para stakeholder di daerah atau kota kepada pihak- pihak yerkait agar menjadi konkret dan mudah dioperasionalkan.
2.       goals, yakni maksud atau tujuan pendidikan jangka panjang atau penengah pada tingkat provinsi atau daerah, sebagai usaha untuk menjembatani aplikasi misi pendidikan tingkat Nasional pada tingkat sekolah atau perguruan tinggi likal. Dengan demikian, adanya dewan pendidikan yang dibentuk ditingkat kota atau kabupaten sebagai lembaga yang independen diharapkan mamu mendongkrak pencapaian pendidikan diwilayahnya masing-masing. Melalui otonomi daerah, sector pendidikan ditingkat daerah atau kota menjadi tanggung jawab bupati atau walikota setempat dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sember daya alam yang tersedia. Sebagian para ahli pendidikan juga ada yang berpendapat bahwa aims sama dengan goals, yang memiliki misi bahwa untuk mencapai suatu target diperlukan upaya yang sistemik.
3.       Objectives, yakni tujuan pendidikan yang bersifat spesifik dan konkret, mudah untuk dioperasikan dalam proses belajar-mengajar (PBM). Rumusan pada tujuan ini bahkan sudah menyentuh ada tujuan-tujuan dari setiap mata pelajaran. Akan tetapi, tujuan yang spesifik ini jangan dijabarkan secara sempit, yang mengartikuasikan tujuan ini pada ranah kognitif saja, tetapi mencakup juga ranah afektif dan psikomotor.
Berdasarkan deskripsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aims merupakan tujuan jangka panjang, sedangkan goals merupakan tujuan jangka menengah, adapun objective merupakan tujuan jangka pendek. Namun, sebagian para ahli pendidikan berpendapat bahwa aims dan goals merupakan tujuan pendidikan dalam skala umum, sedangkan objectives merupakan tujuan pendidikan dalam skala khusus.
Lengeveld mengemukakan bahwa serangkaian tujuan pendidikan yang saling bertautan sebagai beriut.
1.       Tujuan umum (tujuan lengkap, tujuan total) adalah kedewasaan anak didik. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas pendidikan seharusnya diarahkan kesana demi tercapainya tujuan umum terseut.
2.       Tujuan khusus (pengkhususan tujuan umum). Ntuk mencapai tujuan umum, kita perlu juga melewati jalan-jalan yang khusus. Untuk mengkhususkan tujuan umum itu, kita dapat mempergunakan beberapa pandangan dasar sebagai berikut.
a.       Kita harus melihat kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan, pembawaan, umur, dan jenis kelamin anak didik.
b.      Kita harus melihat lingkungan dan keluarga anak didik.
c.       Kita harus melihat tujuan anak didik dalam rangkaian kemasyarakatannya.
d.      Kita harus melihat diri kita sendiri selaku pendidik.
e.      Kita harus melihat tugas lembaga pendidikan dimana hak itu dididik.
f.        Kita harus melihat tugas bangsa dan umat manusia dewasa ini.
Dengan adanya berbagai pandangan dasar kersebut, tujuan umum pendidikan akan memperleh corak yang khusus dengan tidak mengubah sifat tujuan umum.
3.       Tujuan tak lengkah (msaih terpisah-pisah).
Ini adalah tujuan yang berkaitan dengan kepribadian manusia dari satu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu. Misalnya, kesusilaan, keagamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya.
4.       Tujuan sementara adalah titik-titik perhatian sementara sebagai persiapan menuju tujuan umum. Misalnya, membiasakan anak suka kebersihan, berbicara sopan, melatih anak mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, dan sebagainya.
5.       Tujuan incidental adalah tujuan yang terpisah dari tujuan umum, tetapi kadang-kadang mengambil bagian dalam menu tujuan umum. Misalnya, anak kadang-kadang kita ajak mekan bersama-sama (karena merasa perlu), tetapi lain kali tidak, dan sebagainya.
6.       Tujuan intermedier adalah tujuan yang berkaitan dengan penguasaan pengetahuan atau keterampilan demi tercapainya tujuan sementara. Misalnya, anak belajar membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya.
Pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan jika ditopang oleh beberapa factor berikut.
1.       Tujuan penyelenggaraan pendidikan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
2.       Kurikulum yang mencerdaskan dan berkelanjutan. Kurikulum sejatinya berupa desain atau monster plan pendidikan yang berpihak pada nilai-nilai luhur manusia dan keprigadian bangsa. Kurikulum pendidikan tidak dijadikan lading proyek bagi segelintir orang yang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk penghasilan, sehingga terkesan dengan adanya pergantian pemerintahan, berganti pula kebijakan dan arah kurikulum. yang lebih parah lagi jika kurikulum dijadikan saran doktrinasi pemerintah dalam melanggengkan tampuk kekuasaannya.
3.       Kualitas guru yang memadai. Artinya, dalam tataran praksisnya, pendidikan harus dikelola oleh orang-orang yang bertanggungjawab dan professional, serta jumlah guru dengan murid dalam proses pembelajaran.
4.       Sarana dan prasarana yang memadai. Proses pembelajaran akan berjalan dengan efektif dan efisien jika ditunjang oleh fasilitas yang lengkap, sehingga tujuan pendidikan akan diperoleh dengan tidak banyak memakan waktu dan tenaga.
5.       Pengelolaan pendidikan yang baik, transparan, dan akuntabel, sehingga menimbulkan kepercayaan yang tinggi dan pencitraan ositif dari segenap lapisan masyarakat.
B.      Pandangan-pandangan lain.
Pada intinya tujuan pendidikan itu terangkum dalam pengertian pendidikan itu sendiri diantaranya yaitu:
“Pendidikan adalah upaya sadar dan bertanggung jawab yang dilaksanakan secara sistematis  dan bejenjang untuk meningkatkan harkat dan martabat peserta didik dengan cara menumbuhkembangkan  seluruh potensi dan dimensi kepribadian agar ia dapat hidup produktif secara etis berdasarkan nilai-nilai ilahiah dan insaniah”
Dari pengertian pendidikan tersebut dapat kita ketahui bahwa tujuan sebuah pendidikan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat peserta didik, jika kita sambungkan dengan pengertian tujuan di atas maka kita tujuan pendidikan itu sasaran atau target untuk meningkatkan harkat dan martabat peserta didik dengan cara menumbuhkembangkan seluruh potensi dan dimensi kepribadian yang dengan itu akan mendapatkan kehidupan produktif secara etis berdasarkan nilai-nilai ilahiah dan insaniah.
Dalam konsep filsafat tujuan itu mempungyai dua kategori, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara berarti sebuah tujuan yang tidak menyeluruh dan bersifat sementara, dapat kita analogikan kedalam kehidupan kita. Seseorang mempunyai sebuah tujuan “jika saya sudah lulus sarjana, saya akan menjadi guru professional atau menjadi presiden, maka tujuannya itu termasuk kategori tujuan sementara karena apabila seseorang telah mencapai apa yang dia inginkan maka orang tersebut cenderung akan menginginkan keinginan yang lain dan akan mengupayakan terwujudnya keinginan yang selanjutnya.
Dan tujuan yang kedua adalah tujuan akhir, sesuatu dapat disebut tujuan akhir apabila tidak ada tujuan lain setelah terpenuhinya tujuan tersebut.
Dalam ranah pendidikan, pendidikan mempunyai tujuan untuk meningkatkan derajat manusia dari asalnya tidak tau menjadi tahu.
Menurut Saifullah (Zuhairini,1991: 18), antara filsafat, filsafat pendidik­an dan teori pendidikan terdapat hubungan yang suplementer: filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatian dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu:
kegiatan merumuskan dasar-dasar, tujuan-tujuan pendidik­an, konsep tentang hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi pendidikan,
kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.


BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa tujuan pendidikan itu berasal dari dua kata yaitu tujuan yang dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan sebutan “purpose” yang artinya maksud, keinginan, tujuan dan kata pendidikan yang pengertiannya “upaya sadar dan bertanggung jawab yang dilaksanakan secara sistematis  dan bejenjang untuk meningkatkan harkat dan martabat peserta didik dengan cara menumbuhkembangkan  seluruh potensi dan dimensi kepribadian agar ia dapat hidup produktif secara etis berdasarkan nilai-nilai ilahiah dan insaniah”

Dari sini dapat ditarik garis merahnya, yaitu tujuan pendidikan itu adalah maksud, sasaran, atau keinginan seseorng untuk meningkatkan harkat dan martabat peserta didik dengan cara menumbuhkembangkan seluruh potensi dan dimensi kepribadian yang dengan itu akan mendapatkan kehidupan produktif secara etis berdasarkan nilai-nilai ilahiah dan insaniah.

Tuesday, May 22, 2012

contoh khutbah idul fitri



 
Khutbah Idul Fitri 1430 H: Dengan Ramadhan Tingkatan Jati Diri dan Ukhuwah Islamiyah



اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….
وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….
وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ…
اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ramadhan telah kita lalui, pada hari ini umat Islam di seluruh dunia merayakan kemenangannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid berkumandang dimana-mana, di seluruh jagad raya alam semesta ini, bersatu padu dalam irama membesarkan Allah, memuji dan mensucikan-Nya, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat telah Allah anugerahkan, terutama dapat meraih kemenangan di hari yang fitri ini. Mengungkapkan syukur atas hidayah dan inayah Allah yang begitu besar karena telah berhasil mengikuti rentetan ibadah pada bulan Ramadhan sebagai jaminan untuk mendapatkan ganjaran dan ampunan.
Dengan berakhir dan berlalunya bulan Ramadhan dan rangkaian ibadah yang ada di dalamnya; ada dua perasaan yang memuncak dalam jiwa setiap umat; perasaan al-khauf war raja…

Ada perasaan harap dan gembira yang melekat dalam benak kita, senang dan suka cita yang merasuk ke dalam dada, karena setelah selesainya bulan Ramadhan jiwa kita –insya Allah- dikembalikan kepada jati diri yang bersih tanpa noda dan dosa sama seperti saat kita baru dilahirkan dari rahim ibu kita dulu, menjadi fitri (suci) kembali, sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

إن الله فرض عليكم صيام رمضان وسننت قيامه فمن صامه وقامه احتسابا خرج من الذنوب كيوم ولدته أمه

“Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan qiyam di malam harinya, maka barangsiapa yang berpuasa dan melakukan qiyam karena mengharap ridha dari Allah maka keluarlah dosanya (suci) sebagaimana seperti saat ia baru dilahirkan dari kandungan ibunya”.
Begitu pun ada rasa senang dan gembira karena janji, rahmat, keberkahan, pahala yang berlimpah yang telah disediakan oleh Allah bagi yang berhasil menunaikan ibadah pada bulan Ramadhan, tentunya kita bisa membayangkan dalam diri kita masing-masing saat kita menunaikan ibadah Ramadhan; baik puasanya, qiyamnya, tilawahnya, sedekahnya, dan lain sebagainya.
Adapun kebahagiaan yang paling berharga adalah saat kita berjumpa nanti dengan Allah oleh karena puasa yang telah kita jalankan selama 1 bulan penuh. Fa marhaban yang syahru syiyam, syahru rahmah wal maghfirah, syahru A-Quran wa syahru ni’mah wal barakah.
Namun pada sisi lain kita juga merasa sedih atas berlalunya bulan Ramadhan; sedih karena dengan berlalunya bulan Ramadhan berarti kita akan kembali kepada kehidupan yang biasa, dan kita tidak mengetahui apakah kita akan bersua kembali dengan bulan Ramadhan pada tahun mendatang.
Sedih karena kita khawatir apakah segala amal ibadah kita pada bulan Ramadhan tersebut dapat diterima oleh Allah SWT sehingga kita menjadi orang yang di cap oleh Allah dengan orang yang merugi dan celaka sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw :

فإن الشقي من حرم عليه رحمة الله فيه

“Maka sungguh celaka bagi orang yang diharamkan rahmat Allah di dalam bulan Ramadhan”
Na’udzubillah min dzalik, kita berharap dan memohon kepada yang Maha Kuasa, semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta di masukkan ke dalam hamba yang mendapatkan janji-Nya, yaitu surga. Digiring oleh Allah pada golongan hamba-hamba yang masuk ke dalam surge oleh karena puasa dan ibadah kita.

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ.وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya. Dan mereka mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada Kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang Kami kehendaki; Maka surga Itulah Sebaik-baik Balasan bagi orang-orang yang beramal”. (Az-Zumar:73-74)
Dan juga kita berharap semoga Allah berkenan mempertemukan kita kembali dengan bulan Ramadhan di masa mendatang. Amin ya rabbal alamin.
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Bulan Ramadhan selain memiliki keutamaan dan keistimewaan adalah merupakan sarana pendidikan dan pembinaan yang luhur dan komprehensif, baik untuk pembinaan ruhiyah (spiritual), jasadiyah (jasmani), ijtima’iyah (sosial), khuluqiyah (akhlaq) dan hadloriyah (peradaban) serta jihadiyah pada diri umat Islam. Ibaratnya sebuah lembaga pendidikan, para siswa digembleng, dididik dan dibina dengan begitu ketatnya, sehingga kelak setelah lulus dari lembaga tersebut menjadi pelajar yang berprestasi dan unggul serta berdaya guna. Mereka di didik dengan materi yang baik, ditempa dengan pembinaan yang maksimal dan kurikulum yang jelas. Kelak mereka menjadi sosok yang bukan saja memberikan maslahat untuk dirinya namun juga bermanfaat untuk keluarga, lingkungan dan negaranya.
Begitu pun dengan Ramadhan yang telah kita jalani, merupakan sarana pendidikan rabbani, kurikulumnya adalah kurikulum ilahi, dan manhajnya adalah manhaj rabbani yang bersumber dari sang pemilik dan pengatur jagad raya alam semesta dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya, sehingga –diharapkan- setelah keluar dari madrasah Ramadhan lahir sosok pribadi muslim yang mumpuni, memiliki syakhshiyah islamiyah mutakamilah mutawazinah (sosok pribadi Islami yang komprehensif dan seimbang) tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan bugar, dan berakhlaq mulia, namun juga memberikan pelajaran dan pendidikan sosial dan berperadaban, serta tidak hanya memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri namun juga memberikan kebaikan dan perbaikan kepada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Bahwa untuk mencapai tingkat kualitas yang mulia (At-taqwa) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun ia butuh proses yang harus ditempuh oleh setiap mukmin, selain harus melandasi dengan keimanan, namun juga menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia.
Begitulah ketika Allah menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya; landasannya iman, prosesnya ibadah puasa dan hasilnya taqwa
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Kalaulah kita mau menelaah lebih dalam maka akan didapati dalam bulan Ramadhan pelajaran yang begitu penting dan hikmah yang banyak, sehingga ketika seseorang memahaminya maka boleh jadi mereka berharap agar bulan-bulan lainnya dalam satu tahun dijadikan bulan Ramadhan, begitulah yang pernah disinyalir oleh Rasulullah saw :
لو يعلم الناس ما في رمضان لتمنوا أن يكون الدهر رمضان
“Sekiranya manusia mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada dalam bulan Ramadhan maka pasti mereka akan berharap satu tahun penuh dijadikan Ramadhan seluruhnya”.
Adapun inti dari pendidikan dalam bulan Ramadhan adalah sebagai berikut :
1. Puasa merupakan madrasah ruhiyah (pembinaan spiritual)
Puasa berfungsi sebagai sarana tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa), dimana orang yang berpuasa selain menjaga dirinya untuk tidak makan dan minum, juga di tuntut untuk mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, melatih diri untuk menyempurnakan ibadahnya kepada Allah walau dalam keadaan lapar, bersikap jujur, menjaga dari ucapan yang kotor dan keji, sifat dengki dan hasad. Dimana dalam puasa juga ada hikmah yang memenangkan ruh ilahi atas materiil dan akal atas nafsu angkara murka.
2. Puasa merupakan madrasah jasadiyah (pembinaan jasmani)
Ibadah puasa merupakan ibadah yang tidak hanya membutuhkan pengendalian hawa nafsu tapi juga membutuhkan kekuatan fisik. Dan puasa juga dari segi kesehatan akan membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa endapan makanan, mengurangi kegemukan dan menenangkan kejiwaan atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.
3. Puasa merupakan madrasah ijtima’iyah (pembinaan sosial)
Puasa juga dapat membiasakan umat untuk hidup dalam kebersamaan, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, melahirkan kasih sayang kepada orang-orang miskin, sehingga orang-orang yang mampu dan kaya merasakan apa yang di derita oleh orang-orang fakir dan miskin. Sebagaimana yang dikatakan oleh ibnul Qayyim : “Puasa dapat mengingatkan orang-orang kaya akan penderitaan yang dirasakan oleh orang-orang miskin”. Sehingga dari sinilah di harapkan timbul rasa persaudaraan dan solidaritas.
Sebagaimana dalam berpuasa juga ditanamkan sifat tenggang rasa dan solidaritas dalam kehidupan yang memiliki keragaman etnis, warna kulit dan ras, apalagi sesama muslim yang memiliki keragaman mazhab, kelompok dan golongan yang berasal dari keragaman pemahaman dalam mengambil intisari dari ajaran Islam. Perbedaan kelompok, mazhab dan golongan adalah merupakan hal yang lumrah, namun yang patut kita sadari bahwa dengan adanya perbedaan tersebut kita (umat Islam) tidak boleh terpecah belah dan tidak bersatu, namun hendaknya bisa dijadikan sarana untuk memupuk persaudaraan, dan membangun bangunan Islam agar lebih kokoh lagi, sehingga dengannya tidak akan terjadi saling gontok-gontokkan, mencela, menuding dan menghina karena hanya permasalahan sepele dan furu’ saja.
Allah SWT berfirman :
إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman saling bersaudara, maka damaikanlah antara saudara kalian (jika berselisih).
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا
“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan jangan bercerai-berai”
Islam mengharuskan adanya kesatuan pemahaman dalam masalah-masalah dasar aqidah, dasar ibadah dan dasar muamalah; sementara Islam mentolerir multi pemikiran dalam masalah-masalah cabang aqidah, cabang ibadah dan cabang muamalah. Kedua sisi ini bagaikan 2 sisi dari 1 mata uang yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidaklah orang yang berusaha membebaskan semuanya ataupun menyatukan semuanya kecuali ia akan menyimpang dan terlepas dari jalan yang benar…
4. Puasa merupakan madrasah khuluqiyah (pembinaan akhlaq)
Puasa juga mendidik manusia untuk memiliki akhlaq yang mulia dan terpuji, sabar dan jujur serta tegar terhadap segala ujian dan cobaan, hal ini terlihat dari arahan Rasulullah Saw. dalam meriwayatkan Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT. berfirman: “Orang yang berpuasa wajib meninggalkan akhlaq yang buruk. Segala tingkah lakunya haruslah merupakan cerminan dari budi yang luhur. Ia wajib menjaga diri, jangan sampai melakukan ghibah (mempergunjingkan diri orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang tiada berguna, sehingga Allah berkenan menerima puasanya”.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.: “Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: “Aku ini sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Dalam kehidupan ini, kita pasti akan berhadapan dengan berbagai rintangan, ujian dan cobaan, sehingga Allah akan melihat sampai dimana ketegaran kita dalam menghadapi berbagai rintangan, ujian dan cobaan tersebut.
Paling tidak ada 4 tujuan Allah memberikan kita berbagai cobaan dan ujian hidup;
1. Ujian Iman; siapakah yang tegar imannya dan siapakah yang hanya pura-pura dan palsu. Allah berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ . وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-Ankabut:2-3)
2. Ujian Mental; siapakah yang tawadhu dan angkuh terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Al-Hadidi:22-23)
3. Ujian Fisik; siapakah yang bersungguh-sungguh dan lemah dalam meraih nikmat Allah. Allah berfirman:
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (Ali Imran: 140)
4. Ujian Sikap; siapakah yang optimis dan pesimis terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ .
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al-Fajr:15-16)
Dan puasa adalah sebagai perisai yang mampu membentengi diri untuk bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan hidup, dan alhamdulillah sekalipun terik matahari, panas yang menyengat, sehingga rasa haus yang menyekat tenggorokan kita mampu melewatinya, dan tentunya hal tersebut tidak bisa dianggap ringan, butuh usaha dan kesungguhan serta keimanan.
5. Puasa merupakan madrasah jihadiyah
Puasa juga merupakan sarana dalam menumbuhkan semangat jihad dalam diri umat, terutama jihad dalam memerangi musuh yang ada dalam jiwa setiap muslim; mengikis hawa nafsu, dan berusaha menghilangkan dominasi jiwa yang selalu membawanya kepada perbuatan yang menyimpang. Allah berfirman:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Yusuf:53)
Sebagaimana puasa juga menumbuhkan semangat jihad yang nyata, karenanya peperangan yang terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya kebanyakan di bulan puasa, dan justru dengan berpuasa mereka dapat lebih semangat dalam berjihad, karena dengan puasa hati terasa lebih dekat kepada Allah SWT dibanding hari-hari dan bulan-bulan yang lain, walaupun pada dasarnya Rasulullah saw dan sahabatnya tidak pernah merasa jauh dari Allah SWT. Dan bukan karena berpuasa orang lalu boleh bermalas-malasan atau tidur-tiduran. Namun yang lebih utama adalah kegiatan dan aktivitas orang yang berpuasa tidak kendor dan berkurang karena alasan sedang berpuasa, namun sebaliknya harus lebih ditingkatkan lagi, karena ganjaran orang yang melakukan kebaikan saat puasa Ramadhan bahwa pahalanya akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat oleh Allah. Karena itu Allah SWT berfirman :
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dijalan kami maka Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami (jalan yang lurus)” (QS. 29 ayat 69)
6. Puasa merupakan madrasah hadlariyah (pendidikan peradaban)
Puasa juga sebagai wahana peradaban yang dapat memajukan kehidupan manusia yaitu bahwa puasa mendidik manusia untuk bersikap disiplin dengan waktu, seperti waktu sahur dan berbuka, saat waktunya telah habis untuk sahur maka wajib bagi yang akan berpuasa untuk menahan diri dari makan dan minum walaupun di hadapannya tersedia hidangan yang lezat.
Sebagaimana pula bulan Ramadhan mengajarkan untuk menjaga kesatuan umat Kesatuan umat merupakan kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi perlu dipahami, kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan yang dikemas dalam bingkai Islam. Jika tidak, peluang musuh-musuh Islam kian besar mencerai-beraikan ummat melalui propaganda-propaganda mereka. Ada beberapa factor yang menjadi unsure pemersatu menuju terwujudnya kesatuan ummat.
Kesatuan aqidah (wihdatul Aqidah)
Kesatuan atas dasar aqidah, inilah factor utama yang tak boleh diabaikan. Hanya atas dasar aqidah Islam yang benar, tanpa kesyirikan, ummat ini terikat atau disatukan dalam buhul tali yang tidak akan putus oleh badai apapun. Allah telah menyuratkan hal ini dalam Al-Quran : “..Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 256)
Kesatuan ibadah (Wihdatul Ibadah)
Kesatuan ibadah, yang hanya mengabdi kepada Allah, menjadi sangat penting sebagai cerminan dari kesatuan aqidah islamiyah. Kesatuan ibadah juga sangat mendesak segera terwujud, karena ia hanya mencerminkan seberapa besar penyerahan diri kita pada ketentuan-ketentuan Allah. Factor pengabdian yang benar dan Ikhlas inilah yang akan mengantarkan ummat menuju kejayaan dunia dan keselamatan akhirat. Islam adalah din yang lurus, yang tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus (Al-bayyinah : 5)
Kesatuan perilaku
Banyak disebutkan dalam al-Quran bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik (Khairu ummah). Hal ini dikarenakan ketinggian akhlaq ummat Islam, sebagai cerminan kemuliaan aqidah islamiyah. Kualitas keislaman seseorang bias dilihat antara lain dari akhlaq dan kebiasaan sehari-hari. Dalam hal ini, ummat Islam sebagai ummat terbaik telah dituntun oleh Allah supaya berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. Beliaulah manusia pilihan Allah sebagai teladan bagi seluruh ummat Islam seluruhnya dalam kerangka semangat beruswah hanya kepada Rasulullah saw (Al-Ahzab : 21)
Kesamaan akhlaq, akan memperkokoh persatuan ummat. Secara fitrah, setiap manusia cenderung menyatu dengan individu lainnya yang memiliki kesamaan perilaku sehari-hari.
Adapun akhir dan puncak hikmah yang dapat di raih oleh orang yang melakukan puasa adalah mencapai derajat dan maqam taqwa di sisi Allah SWT, sebagaimana yang telah difirmankan Allah di penutup perintah-Nya kepada kaum beriman untuk berpuasa, “agar kamu bertaqwa”, karena dengan puasa kesehatan qalb (hati) dan jasad (jasmani) terjaga, sehingga tidak heran kalau syekh Yusuf Al-Qaradhawi menjadikan puasa itu sebagai madrasah mutamayyizah (lembaga pendidikan favorit) yang dibuka oleh Islam untuk menerima pendaftaran baru ; berkadar kurikulum Ilahi. Oleh karena itu, siapa saja yang mendaftarkan dirinya ke madrasah mutamyyizah ini, yaitu berpuasa dengan baik sebagaimana yang telah di gariskan Allah, kemudian mengamalkan sunnah-sunnah sebagaimana yang di syariatkan oleh Rasulullah SAW, maka dia telah sukses dalam menempuh ujian dan meraih tingkat dan level yang tinggi dan mulia di sisi Allah yaitu Taqwa. Dimana taqwa dalam kehidupan kaum muslimin merupakan benteng utama, bekal yang paling baik yang diperlukan oleh setiap manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, seperti yang dipesankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 197 : “Dan berbekallah kalian karena sebaik-baik bekal adalah taqwa”. Dan sebagaimana yang dipesankan oleh Rasulullah saw kepada seseorang : “Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada”. Dan taqwa dapat mengatasi segala problema dan urusan hidup di dunia (At-Tholak (65) : 2) dan memudahkan rezki (At-Tholak (65) : 2&4) dan amal ibadah kita diterima oleh Allah (Al-Maidah (5) : 27), juga sebagai tameng dan sarana diampuninya dosa-dosa (Al-Anfal (8) : 27) serta Allah akan memasukkan ke surga yang penuh kenikmatan (At-Thur (52) :17)
Semoga Idul Fitri tahun ini benar-benar membawa perubahan pada diri kita, kehidupan rumah tangga kita, masyarakat kita, pemerintahan kita, sehingga benar-benar menjadi bangsa yang “Baldatun Thoyibatun wa Robbun Ghofur”, bangsa yang makmur dan sejahtera pada semua lapisan masyarakatnya -bukan saja para pemimpin dan kaum elitnya saja- dan bangsa yang selalu mendapatkan lindungan, naungan, bimbingan dan ampunan Allah SWT. []

Khutbah Idul Fitri 1429 H: Ramadhan, untuk Esok yang Lebih Cerah 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الله أكْبَرُ، الله أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ، الله أكْبَرُكَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله الله أكْبَرُ، الله أكْبَرُ وَلله الْحَمْدُ.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِ الأنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجْمَعِيْنَ.

 “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah yang Maha Besar. Allah Maha Besar dan segala puji hanya milik Allah. Allah Maha Besar sebesar-besarnya, segela puji bagi-Nya sebanyak-banyaknya, Maha Suci Allah dari pagi hingga petang hari. Tiada tuhan selain Allah, sendiri. Yang benar janji-Nya, yang memberi kemenangan kepada hamba-Nya, yang memuliakan prajurit-Nya sendirian. Tiada tuhan selain Allah, dan kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, mengikhlaskan agama hanya kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir membenci. Tiada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar, bagi Allah-lah segala puji.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Pada pagi hari ini kita menyaksikan ratusan juta manusia mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid. Semilyar mulut menggumamkan kebesaran, kesucian, dan pujian untuk Allah Subahanhu wa Ta’ala, sekian banyak pasang mata tertunduk di hadapan kemaha-besaran Allah Azza wa Jalla, sekian banyak hati diharu-biru oleh kecamuk rasa bangga, haru, bahagia dalam merayakan hari kemenangan besar ini. Sebuah kemenangan dalam pertempuran panjang dan melelahkan, bukan melawan musuh di medan laga, bukan melawan pasukan dalam pertempuran bersenjata. Namun, pertempuran melawan musuh-musuh yang ada di dalam diri kita, nafsu dan syahwat serta syetan yang cenderung ingin menjerumuskan kita. Ibnu Sirin berkata tentang sulitnya mengendalikan jiwa, “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa.” Hasan Bashari berkata, “Binatang binal tidak lebih membutuhkan tali kekang ketimbang jiwamu.”
Kemenangan melawan hawa nafsu ini adalah inti kemenangan, inilah kemenangan terbesar, kemenangan utama yang akan melahirkan kemenangan-kemenangan lain dalam semua kancah kehidupan dunia yang kita arungi. Kita membutuhkan kemenangan seperti ini untuk memenangkan semua pertarungan yang kita hadapi dalam hidup ini. Betapa banyak perangkat-perangkat meteri kemenangan dikuasai oleh seseorang, kelompok, dan bangsa. Namun ternyata mereka harus menelan kekalahan dengan sederet perangkat materi itu. Mereka memiliki ilmu dan teknologi, senjata, perlengkapan, dan sarana lainnya, namun itu semua tidak berdaya di hadapan seseorang, kelompok, atau bangsa yang memiliki ketangguhan jiwa, kekuatan mental, dan kematangan pribadi.
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Selama sebulan penuh kita berada dalam bulan suci, bulan penuh keberkahan dan nilai. Bulan yang mengantarkan kita kepada suasana batin yang sangat indah. Bulan yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan bagi kita kaum Muslimin. Bulan Ramadhan melatih kita untuk memberi perhatian kepada waktu, di mana banyak manusia yang tidak bisa menghargai dan memanfaatkan waktunya. Ramadhan melatih kita untuk selalu rindu kepada waktu-waktu shalat, yang barangkali di luar Ramadhan kita sering mengabaikan waktu-waktu shalat. Adzan berkumandang di samping kanan kiri telinga kita, namun kita tetap dengan segala kesibukan kita, tak tergerak bibir kita untuk menjawabnya apa lagi untuk memenuhi panggilan itu…
Dan kita membiarkan suara Muadzin itu memantul di tembok rumah dan kantor kita, lalu pergi bersama angin lalu.
Sedangkan pada bulan Ramadhan ini kita selalu menunggu suara adzan, minimal adzan Maghrib, kita tempel di rumah kita bahkan kita hapal jadwal Imsakiyyah…
Mudah-mudahan selepas Ramadhan ini rasa rindu kepada waktu shalat selalu kita pelihara. Waktu adalah kehidupan. Barangsiapa menyia-nyiakan waktunya berarti ia menyiakan-nyiakan hidupnya.
Ada survei tahun 1980 bahwa Jepang adalah negara pertama yang paling produktif dan evektif dalam menggunakan waktu, disusul Amerika dan Israel. Subhanallah, ternyata negara-negara itu kini menguasai dunia. Sebagai seorang muslim, mestinya kita menjadi orang yang paling disiplin dengan waktu kita. Al-Qur’an yang kita baca di bulan Ramadhan mengisyaratkan pentingnya waktu bagi kehidupan. Bahkan pada banyak ayat Allah bersumpah dengan waktu.
Maka jika kita ingin menjadi manusia yang terhormat di antara manusia lain dan bermartabat di sisi Allah, hendaknya kita isi waktu kita dengan hal-hal yang produktif, baik untuk kepentingan dunia atau akhirat kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Ramadhan juga melatih kita untuk memakmurkan tempat-tempat ibadah; masjid, mushalla, dan surau. Gegap gempita kita mendatangi rumah-rumah Allah ini, kita kerahkan anak istri kita untuk meramaikan tempat suci ini. Hingga ketika menyaksikan pemandangan indah ini seseorang sempat berkhayal, “Andai Ramadhan datang dua belas kali setahun.” Begitu indah pemandangan ini, suara pujian dan doa bersahut-sahutan dari pengeras suara di antara masjid-masjid. Alam serasa hanyut dalam tasbih dan istighfar.
Suasana ini perlu kita pertahankan selepas Ramadhan ini, kita perlu mengerahkan keluarga kita untuk memakmurkan masjid-masjid Allah. Sehingga kita layak mendapatkan janji Allah, bahwa,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ الله فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ….. وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ
“Ada tujuh golongan manusia yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya di hari dimana tidak ada naungan selian naungan Allah….dan seseorang yang hatinya terikat dengan masjid.”
Ramadhan juga melatih kita untuk lebih mementingkan ketaatan kepada Allah dengan mengorbankan tenaga dan kepentingan kita, saat-saat kita masih lelah bekerja seharian, setelah sepanjang siang kita bertahan dengan rasa lapar dan dahaga, saat kita mestinya beristirahat dari kepenatan, namun, justru kita ruku’ dan sujud dalam shalat tarawih atau qiyamu Ramadhan dengan satu harapan, mudah-mudahan kita mendapatkan keridhaan Allah, itulah satu-satunya yang paling berharga dalam hidup kita selaku Muslim.
Semangat ini juga mestinya kita jaga setelah Ramadhan, kita perlu mempersembahkan apa yang kita miliki ini untuk meraih keridhaan Allah. Sejatinya, apa yang kita miliki saat ini hanya amanah dari Allah Ta’ala, apakah kita dapat menunaikannya atau tidak. Hendaknya keridhaan Allah itu menjadi tujuan kita, tidak ada desah nafas, mulut bergerak, tangan berayun, dan kaki melangkah kecuali kita harus mengirinya dengan satu pertanyaan, “Apakah dengan apa yang saya ucapkan dan saya lakukan ini saya akan mendapatkan ridha Allah.” Hingga dengan demikian serasilah apa yang sering kita ikrarkan,
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Ramadhan juga melatih kita untuk mempunyai rasa solidaritas sesama manusia, dengan rasa lapar dan dahaga kita teringat akan nasib sebagian dari saudara-saudara kita yang kurang beruntung di dalam hidup ini, mereka setiap harinya dirongrong rasa lapar dan dahaga. Apalagi, rasa kemanusiaan semacam ini nyaris mulai sirna dewasa ini. Saat budaya hedonisme mulai menjangkiti manusia modern, dimana mereka hanya disibukkan oleh urusan pribadi, nafsi-nafsi, urusanku urusanku sendiri, silahkan urus urusanmu sendiri. Hal ini diakibatkan karena orientasi hidup manusia modern yang hanya memandang materi sebagai satu-satunya tujuan. Bahkan, terkadang untuk memenuhi ambisi kebendaannya seseorang rela menghalalkan segala cara.
Solidaritas semacam ini perlu kita pelihara dan kita aplikasikan dalam hubungan dengan sesama manusia dengan melakukan shiyam-shiyam sunnah, di mana Islam telah mensyariatkannya. Manusia modern perlu melakukan puasa untuk melatih kepekaan sosialnya, para pejabat perlu melakukan puasa sunnah untuk merasakan derita yang dialami sebagian besar bangsa ini. Sehingga, muncullah kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin. Atau, minimal dapat menurunkan gaya hidup kelas tinggi mereka di tengah bangsa yang menangis ini.
Kita menyambut adanya itikad baik dari pemimpin negeri ini untuk membudayakan hidup sederhana. Alangkah indahnya jika ajakan hidup sederhana ini diterapkan oleh semua pihak, terutama para pejabat, menteri, anggota dewan, dirjen-dirjen dan lain sebagainya. Ini akan menggurangi anggaran negara dan dapat dialokasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Bangsa ini masih terpuruk, rakyat masih menderita. Kemiskinan menjadi pemandangan utama di setiap sudut kota dan pelosok desa. Tidaklah pantas memamerkan kemewahan di hadapan mereka. Apalagi menggunakan fasilitas negara.
Zuhud, adalah sikap yang diajarkan Islam kepada kita dalam hidup ini. Az-Zuhri ditanya tentang makna zuhud dan dia menjawab, “Zuhud bukanlah pakaian yang kumal dan badan yang dekil. Zuhud adalah memalingkan diri dari syahwat dunia.” Orang mukmin boleh kaya dan berjaya, namun yang ada di hatinya hanyalah Allah semata. “Letakkan harta di tanganmu dan jangan letakkan di hatimu.” Demikian nasihat ulama.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Sungguh banyak pelatihan yang diberikan oleh Diklat Ramadhan kepada kita, itulah barangkali di antara hikmah disyariatkannya shiyam selama sebulan agar sebelas bulan sisanya kita lalu dengan menerapkan nilai-nilai Ramadhan. Agar suasana spiritual yang dilatih selama sebulan ini menjadi energi kita dalam mengarungi sebelas bulan berikutnya. Agar predikat takwa itu benar-benar terjaga dalam diri kita. Sebab ketakwaan itulah bekal hidup dan modal kita untuk menghadapi pengadilan Allah Azza wa Jalla.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
“Dan berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Demikianlah Ramadhan telah memberikan banyak perubahan dalam diri kita. Mulai dari sikap, perilaku, dan paradigma dalam memandang hidup dan kehidupan ini. Mestinya ini semua menjadi bekal kita untuk melakukan perubahan-perubahan di masa depan, perubahan yang mengantarkan hidup kita ke arah yang lebih baik. Sebagai pribadi maupun bangsa.
Sungguh kehidupan yang kita lalui masih sulit, beban yang kita pikul semakin berat. Baik sebagai pribadi atau sebagai bangsa, kita sekarang belum juga bisa berkelit dari krisis multi dimensi yang cukup pelik. Pekerjaan kian sulit dicari, harga-harga masih membumbung tinggi, angka pengangguran masih tinggi, bencana alam, kejahatan meraja-lela. Demi sesuap nasi, nilai-nilai yang semestinya dijunjung dan dijaga tidak diindahkan lagi. Bahkan, nyawa yang begitu mahal dan berharga oleh semua agama dan ideologi, kini menjadi taruhan yang sangat murah. Dari layar TV dan media cetak kita sering menyaksikan peristiwa pembunuhan yang sungguh mendirikan bulu kuduk kita; seorang anak membantai ayahnya, suami mencincang istrinya, tetangga menghabisi tetangganya, saudara menggorok saudaranya, yang rata-rata motifnya sama, ekonomi.
Tidak ada bekal terbaik untuk menghadapi kondisi sulit ini selain ketakwaan. Barangkali semua orang sepakat bahwa kita semua harus bangkit untuk mengatasi semua kesulitan yang melanda kita dan bangsa kita dewasa ini. Untuk itu di hari yang fitri ini, di tengah kita merayakan kemenangan besar ini. Di mana kita baru saja selesai melakukan pelatihan selama sebulan penuh, di mana nuansa kesucian tengah kita rasakan saat ini, sehingga pikiran dan hati kita tengah mengalami pencerahan karena nilai-nilai ketakwaan. Marilah kita menatap hari esok dengan semangat berubah ke arah yang lebih baik dan penuh optimisme, dan memang seorang Mukmin, seorang Muttaqi, seorang yang bertakwa pantang kehilangan asa dalam kondisi apapun. Optimisme adalah harga mati jika kita ingin bangkit mengatasi berbagai kesulitan ini.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Ada beberapa variabel untuk membangun optimisme dalam diri kita.
Pertama, Husnudzan kepada Allah.
Husnudzan atau berprasangka baik kepada Allah ini harus kita kokohkan dalam diri kita. Kita sepakat bahwa tidak ada satu peristiwa yang terjadi selain dengan izin dan kehendak Allah, termasuk ujian dan kesulitan yang tengah kita hadapi. Dan seorang Mukmin selalu menghadapi semua ketentuan Allah itu dengan prasangka baik. Ia mempunyai prinsip bahwa apa yang menimpanya, itulah yang terbaik baginya menurut Allah. Oleh karena itu ia tidak menggerutu kepada Penciptanya, ia tidak memberontak karena keputusan Tuhannya, dan ia selalu menatap semua ujian itu dengan senyum. Ia yakin akan mendapatkan dua keuntungan dari ujian itu:
1. Diangkat dan dihapuskannya kesalahan dan dosa-dosanya
2. Dan tinggikan derajatnya di sisi Allah Azza wa Jalla
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ صَبَرَ فَلَهُ الصَّبْرُ وَمَنْ جَزِعَ فَلَهُ الْجَزَعُ
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa bersabar ia mendapat (pahala) kesabarannya, dan barangsiapa gundah gulana, ia (tersiksa) karena kegundahannya.”
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan urusan seorang Mukmin, semua urusannya berakibat baik baginya, dan itu tidak terjadi kepada selain orang-orang Mukmin, jika mendapatkan kebaikan ia bersyukur dan itu baik baginya. Dan jika mendapat bencana ia bersabar dan itu baik pula baginya.” (Muslim)
Husnudzan harus kita pelihara dalam diri kita. Allah tidak menghendaki dari hamba-Nya selain kebaikan, kalau tidak di dunia, di akhirat. Jangan sampai kita celaka di dunia dan di akhirat akibat prasangka buruk kita kepada Allah. Na’udzu billah, tsumma na’udzu billah.
Kedua, Tidak putus berdoa.
Doa merupakan senjata orang beriman, berdoa merupakan ibadah dan enggan berdoa merupakan kesombongan kepada Allah Azza wa Jalla.
Sebagai bangsa, kita ini mestinya sudah hancur berantakan, mestinya negara yang bernama Indonesia ini gulung tikar. Krisis ekonami yang berkepanjangan, krisis kepercayaan, moral, bom meledak di mana-mana, pemerintahan yang lemah, tekanan bahkan konspirasi untuk menghancurkan bangsa kita begitu kuat. Pertikaian dan peemusuhan antar suku, entis, dan antar agama, pertumbuhan ekonomi yang kian memburuk, hutang negara yang kian membumbung tinggi. Mestinya, semua itu cukup membuat kita, sebagai bangsa ambruk terkapar… akan tetapi kenyataannya tidak, apapun keadaannya, kita masih bisa berdiri tegak. Barangkali pihak-pihak yang menginginkan kehancuran negeri ini tak habis pikir, mengapa hingga saat ini kita masih bisa bertahan. Kita yakin seyakin-yakinya, itulah berkat doa yang dipanjatkan setiap muslim di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, itu semua berkat ratusan juta pasang tangan yang selalu ditengadahkan ke langit, memohon kepada yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, agar negeri ini dijauhkan dari kehancuran…
Ketiga, meneladani para nabi dan rasul.
Mereka adalah kekasih-kekasih Allah dan itu kita sepakat. Namun ujian Allah timpakan kepada mereka begitu dahsyat dan tak terperikan. Bahkan di antara mereka ada yang mendapatkan gelar Uluz Azmi karena keberhasilan mereka dalam mengarungi ujian berat. Dan mereka tidak pernah berputus asa kepada Allah Ta’ala.
Adalah nabiyullah Zakaria yang selalu merindukan anak, namun hingga di usianya yang mulai senja, si buah hati yang diidamkannya belum kunjung datang. Akan tetapi hal itu tidak membuatnya berputus asa dan kehilangan optimisme. Dengarkanlah Al-Quran menuturkan,
ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai”.(Maryam: 2-6)
Orang yang sudah tua renta, istrinya mandul…lalu mengharapkan mempunyai anak? Rasanya mustahil itu terjadi, rasanya harapannya akan tinggal harapan. Akan tetapi kekasih Allah tidak menyandarkan harapannya kepada sebab-sebab manusiawi, karena sebab-sebab itu merupakan kehendak Allah, Allah mampu menciptakan dari yang tiada menjadi ada. Apalagi dari yang sudah ada, walau usia renta dan istri mandul. Akhirnya Allah mendengar doanya dan melihat ketegarannya.
يَازَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (Maryam: 7).
Itu pula yang dialami Ibrahim, Khalilullah.
Tidak ada yang mustahil bagi Allah, jika kita tetap berusaha dan berdoa.
Pada perang Khandaq, saat sepuluh ribu pasukan sekutu yang terdiri dari suku Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya mengepung Madinah. Sementara Rasulullah hanya didukung dua ribu pasukan dengan parit yang mengelilingi sebagian sisi kota. Sementara itu orang-orang Yahudi Quraidzah yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk melindungi wilayah perbatasan kota Madinah, ternyata mereka membatalkan perjanjian dan bergabung dengan pasukan sekutu. Dan dengarlah sikap Rasulullah menghadapi kondisi genting ini,
اَللهُ أَكْبَرُ، أَبْشِرُوْا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ بِفَتْحِ اللهِ وَنَصْرِهِ…
“Allahu Akbar, bergembiralah wahai sekalian kaum Muslimin dengan kemenangan dari Allah dan pertolongan-Nya.”
Dan ternyata Allah memperhatikan optimisme hamba terbaik-Nya, dua ribu pasukan Muslim dapat mengalahkan sepuluh ribu pasukan sekutu plus orang-orang Yahudi Bani Quraidzah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil-hamdu…
Keempat, beramal dan bertawakkal.
Sebab Allah tidak menurunkan emas dari langit. Singsingkan lengan baju. Kita gunakan seluruh potensi yang Allah karuniakan kepada kita
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah:105).
Sebab tidak ada yang mengubah kita selain kita sendiri…
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ(11)
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Radu: 11)
Akhirnya, dengan jiwa yang suci bersih bak seorang bayi yang baru lahir. Marilah kita tundukkan hati kita kepada kebesaran Allah, menengadah, mengharap akan karunia dan rahmat-Nya, untuk kita keluarga kita, kaum Muslimin, dan bangsa kita.

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِيءُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ.
ألَّلهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهَا جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَاناَ وَلاَ تَجْعَلِ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغِ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأمُوُرِ كُلِّهَا وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الأخِرَةِ
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ