Translate

Tuesday, April 17, 2012

TAKHRIJ HADITS DENGAN METODE AR-RAWI’ AL-A’ALA

بسم الله الرحمن الرحيم
TAKHRIJ HADITS DENGAN METODE AR-RAWI’ AL-A’ALA
Oleh: Maulana Yusuf dan Hasan Ash-Shiddiq

Muqaddimah
Segala puji serta syukur hanyalah milik Allah, Yang Mahaperkasa lagi maha mengetahui; yang maha mengampuni dosa dan menerima taubat; yang keras hukuman-Nya; yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain dia. Hanya kepada-Nyalah kembali semua makhluk. Shalawat teriring salam buat Rasul tercinta, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,yang penuh perhatian terhadap umatnya; amat belas kasihan lagi penyayang terhadap keimanan dan keselamatan pengikutnya.
Untuk mendapatkan kemudahan dalam melakukan takhrij suatu hadis maka kita harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij.Tekhnik pembukuan buku-buku hadis pada zaman ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macamnya. Diantaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadis berdasarkan tema-tema tertentu seperti kitab Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling atas yakni para sahabat, seperti kitab Musnad Ahmad Bin Hambal. Buku lain lagi didasarkan pada huruf permulaan matan hadis diurutkan sesuai dengan alphabet arab seperti kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Syuyuthi dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Karena banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadis, maka sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penelusuran hadis dari sumber hadis yaitu takhrij dengan kata (bi al lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdu’), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij dengan sanad pertama (bi ar-rawi al a’la) dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah). Adapun didalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai teknik atau metode mentakhrij hadits dengan sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la).

Pengertian Metode Takhrij dengan Ar-Rawi Al-A’la[1]
Takhrij ini meneliti hadis dengan menelusuri sanad pertama atau yang paling atas yakni para sahabat (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits:
1.      Al-Masanid (Musnad-Musnad): dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut didalam kitab al-masanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2.      Al-Ma’ajim (Mu’jam-Mu’jam): susunan hadits didalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3.      Kitab-Kitab Al-Athraf: kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seseorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.

Kelebihan Metode Takhrij dengan Ar-Rawi al-A’la
Kelebihan dari metode ini yaitu memberikan informasi kedekatan pembaca dengan pen-takhrij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode lainnya yang hanya memberikan informasi kedekatan pen-takhrijnya tanpa kitabnya.[2]

Kekurangan Metode Takhrij dengan Ar-Rawi al-A’la
Sedangkan kekurangan metode ini yaitu, kesulitan yang dihadapi jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwatyatkannya, disampingnya campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan terfokus pada satu masalah.[3]

Penerapan Metode Takhrij Hadits Dengan Rawi Al-A’la
Dalam penerapan metode takhrij hadits dengan ar-rawi al-a’la ini, kami mencoba mentakhrij sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sa’d bin Abi Waqash dengan matan hadits kurang lebih:
لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا حتّى يريه خير من أن يمتلئ شعرا.
 “Jika rongga mulut salah seorang dari kalian dipenuhi oleh muntah hingga dia menelannya, (maka itu) lebih baik baginya dari pada dipenuhi oleh syair.”
Kitab yang kami pakai ialah Musnad Ahmad bin Hanbal.

Sekilas profil Kitab Musnad Imam Ahmad[4]
Sehubungan dengan yang menjadi objek penelitian kami tentang takhrij hadits dengan metode ar-rawi al-a’la ialah kitab musnad imam ahmad, maka disini kami akan memberikan sekilas gambaran tentang kitab musnad imam ahmad khususnya jilid 2.
Musnad adalah kitab  yang berisi kumpulan hadits yang  tidak diurut berdasarkan urutan bab-bab fiqih namun dikelompokkan/diurutkan  menurut setiap Shohabat rodliallohu anhum , baik hadits shahih, hasan atu dhaif. Urutan nama-nama para Shohabat didalam musnad kadang berdasarkan huruf hijaiyah atau alfabet sebagaimana dilakukan oleh ulama dan ini yang paling mudah, kadng juga berdasarkan pada kabilah dan suku, atau berdasarkan yang paling dahulu masuk Islam, atau berdasrkan negara (asal).
Kitab hadits yang berbentuk musnad cukup banyak. Al Killani dalam kitabnya Ar Risalah Al Musthatharafah menyebutkan jumlahnya sebanyak 82 Musnad, diatara yang paling terkenal yaitu : Musnad karya Imam Abu Daud, Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad karya Imam Abu bakar Al Humaidi, Musnad karya Imam Abu Ya'la -rahimakumullah- . Kitab ini adalah terjemahan Kitab Musnad Imam Ahmad yang telah ditakhrij oleh Syaikh Al Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir -rahimahullah- .
Dalam jilid kedua ini, tercakup hadits-hadits dari shahabat :
- Musnad Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidah
- Musnad Zubair bin Awwam
- Musnad Abu Ishaq Sa'ad bin Abi Waqosh
- Musnad Said bin Zaid bin Amirbin Nufail
- Hadits Abdurrahman Auf Az Zuhri
- Hadits Abu Ubaidah bin Jarrah
- Hadits Zaid bin Kharijah
- Hadits Al harits bin Hadits Sa'd, budak Abu bakar
- Musnad Ahlul bait, Hadits-hadits Hasan bin Ali bin Abi Thalib
- Hadits Husain bin Ali
- Hadits Aqil bin Abi Thalib
- hadits Ja'far bin Abi Thalib
- hadits Abdulloh bin Ja'far bin Abi Thalib
- Musnad Bani Hasyim, hadits-hadits Abbas bin Abdul Muthalib dari Rosululloh Sholallahu   Alaihi Wassalam
- Musnad Fadhl bin Abbas
- Hadits Tammam bin Abbas bin Abdul Muthalib dari Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
- Musnad Abdulloh bin Abbas bin Abdul Mutahlib
Sekilas tentang biografi Imam Ahmad Bin Muhammad bin Hanbal[5]
Imam Ahmad bin Hanbal, (Kunyah beliau Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi., Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afghanistan dan utara Iran) pada tanggal 20 of Rabiul Awal 164 A.H. (781 M)[1] dan wafat pada tahun 241 Hijrah di kota BaghdadIrak.
Awal mula Menuntut Ilmu
          Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), HijazYaman dan negara-negara lainnya sehingga beliau akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah belau hafal di luar kepala. Belaiu menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai berikut :
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau pernah berkata,
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"[2]
Keadaan fisik beliau
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
Keluarga beliau
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan beliau
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
Pujian Ulama terhadap beliau
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Masa Fitnah
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq.Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui
Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1.      Ismail bin Ja’far
5.      Imam Asy-Syafi’i
6.      Waki’ bin Jarrah
7.      Ismail bin Ulayyah
8.      Sufyan bin ‘Uyainah
9.      Abdurrazaq
Murid-murid Beliau
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1.      Imam Bukhari
2.      Muslim
3.      Abu Daud
4.      Nasai
5.      Tirmidzi
6.      Ibnu Majah
7.      Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8.      Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9.      Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10.  Keponakannya, Hambal bin Ishaq
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
1.      Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2.      Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3.      Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4.      Kitab at-Tarikh
5.      Kitab Hadits Syu'bah
6.      Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7.      Kitab Jawabah al-Qur`an
8.      Kitab al-Manasik al-Kabir
9.      Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1.      Kitab al-'Ilal
2.      Kitab al-Manasik
3.      Kitab az-Zuhd
4.      Kitab al-Iman
5.      Kitab al-Masa'il
6.      Kitab al-Asyribah
7.      Kitab al-Fadha'il
8.      Kitab Tha'ah ar-Rasul
9.      Kitab al-Fara'idh
10.  Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Dalam praktek yang kami lakukan ketika mentakhrij hadits dari Sa’d  bin Abi Waqash tersebut ialah. Dengan mencari nama sahabat tersebut yakni Sa’d bin Abi Waqash pada daftar isi di kitab sunan Imam Ahmad. Setelah menemukan nama sahabat tersebut, kami langsung merujuk ke halaman yang dituju dan mencari matan hadits yang dimaksud tersebut. Yang pada akhirnya hadits tersebut terdapat didalam kitab musnad Imam Ahmad dengan nomor hadits  1506 dan  1507 dengan redaksi hadits lengkap sebagai berikut,
1507حدّثنا حسن حدّثنا حمّاد بن سلمة عن قتادة عن عمر بن سعد بن مالك عن سعد عن رسول الله صلي الله عليه وسلّم قال: لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا حتّى يريه خير من أن يمتلئ شعرا.
1507 Hasan menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Umar bin Sa’d bin Malik dari Sa’d dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Jika rongga mulut salah seorang dari kalian dipenuhi oleh muntah hingga dia menelannya, (maka itu) lebih baik baginya dari pada dipenuhi oleh syair.”[6]

Penutup
Demikianlah pembahasan dari kami mengenai takhrij hadits dengan metode Ar-Rawi al-A’la (sahabat). Yang mana dengan metode takhrij tersebut memiliki kelebihan yaitu memberikan informasi kedekatan pembaca dengan pen-takhrij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode lainnya yang hanya memberikan informasi kedekatan pen-takhrijnya tanpa kitabnya. Adapun kekurangan metode ini yaitu, kesulitan yang dihadapi jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwatyatkannya, disampingnya campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan terfokus pada satu masalah. Semoga apa yang kami sampaikan pada kali ini dapat bermanfaat, Insya Allah.

Daftra Pustaka
Al-Qathan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008
bin Muhammad bin Hanbal, Ahmad,  Musnad Imam Ahmad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007



[1] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. III, hal. 191
[2] http://podoluhur.blogspot.com
[3] Ibid
[4] www.eabookcentre.com.my
[5] www.wikipedia.com
[6] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, Cet. I, Jilid. II, hal. 448

1 comment:

irfan said...

Apabila ada kesalahan baik dalam teori maupun dalam tulisan mohon langsung di komen nya....